Kamis, 11 November 2010

Wahdatul Wujud

AL-WAHDATUL AL-WUJUD

Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul, yang dibawa oleh Muhyi al-Din Ibn Arabi kelahiran spanyol pada tahun 560 H dan meninggal pada 638 H di Damaskus.
Dikatakan paham ini sebagai perluasan konsepsi al-hulul karena nasut yang ada dalam al-hulul ia ganti dengan khalq (makhluk), sedang lahut menjadi alHaqq(Tuhan). Khalq dan al-haqq adalah dua sisi dari segala sesuatu, dua aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek batinnya disebut al-haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek batin.
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa paham ini adalah patheistik tetapi sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara wahdatul wujud dengan pantheisme. Menurut paham ibn al-Arabi ini hakekat wujud itu hanya satu yaitu Allah sedangkan wujud yang banyak itu hanya bayangan (ilusi) dari yang satu itu. Dalam patheisme jauhar atau esensi Tuhan itu terdapat pada setiap yang ada. Menurut konsepsi ini, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung pada wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada maka wujud yang selain Tuhan tidak ada. Dengan demikian, wujud yang lain itu tergantung pada wujud Tuhan dan oleh karenanya yang memiliki wujud hakiki hanyalah Allah.
Selain doktrin dari Ibn al-Arabi ini ternyata masih ada tipe kesatuan wujud yang lebih ekstrim, yaitu kesatuan mutlak yang merupakan hasil rekayasa rasa dan rasio Ibn Syabi’in (w. 669 H). dari Murcia Andalusia. Secara esensil paham ini nampaknya sederhana karena katanya, wujud adalah satu yakni wujud Allah, sedangkan wujud-wujud lainnya itu adalah wujud AllahYang Esa itu juga.keberadaan segala sesuatu itu pada hakikatnya tidak berbeda dari wujud yang satu sehinggawujud hanya satu dan selalu satu, maka disebut kesatuan mutlak.
Pola piker Ibn Syabi’in ini berangkat dari satu aksioma yang disepakati yaitu Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang ada, asal dari semua wujud pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Namun perlu diingat, nampaknya konsep ada menurut Ibn Syabi’in adalah bermakna sprilitual-rohaniah, bukan material. Sebab wujud ia gambarkan sebuah lingkaran yang porosnya adalah wujud mutlak yang tiada batas. Sedangkan wujud yang lainnya itu adalah nisbi dan berada di dalam lingkaran wujud mutlak itu. Atas dasar inilah ia mengatakan bahwa wujud itu hanya satu karena keduanya adalah sama.
Dalam membicarakan hal ini, ia berangkat dari postulat bahwa wujud itu hanya satu, tidak banyak, yakni TUhan sebagai realitas Tunggal dan sebagai wujud mutlak, sedangkan wujud-wujud yang lainnya itu adalah illuminasi (pancaran) atau pantulan dari wujud mutlak melalui tajalli secara berantai. Dari wujud mutlak keluar Aqal Awal yang juga disebut Aqal al-Kulli. Aqal Awal adalah asal kejadian segala yang ada melalui proses ini dari Aqal awal melimpah (memancar) jiwa alam dan selanjutnya melimpah pada jisim Al-Kulli yang dalam filsafat disebut hayula, yang disebut Ibn al-Arabi sebagai habaa. Haba adalah wujud non materi yang merupakan bahan baku bagi kejadian alam semesta ini, penamaan haba ini menurut Ibn Arabi didasarkan pada al-quran surat al-Waqiah 6 : “fakanat habaa an mumbassa”.
Menurut konsepsi ini, wujud ada empat kualitas, yaitu :
1. Allah sebagai wujud mutlak
2. Aqal awal atau aqal kulli atau haqiqat al-Muhammadiyah
3. Nafs al-Kulliyat
4. Jisim Kulli atau habaa.
Seluruh wujud makhluk ini adalah sempurna sesuai dengan urut-urutan kejadiaanya, sesuai dengan jauh dekatnya dari wujud mutlak sebagai wujud yang sempurna.

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN POLITIK
1. Sejarah Perkembanganya
Keberadaan tasawuf di nusantara, tidak bias lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tersebar luasnya islam di Indonesia sebagian besar karena jasa sufi. Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi etos kerja mereka itu, kelihatanya hamper terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu adalah berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsure yang cukup dominant dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan islam di aceh sampai pada masa wali songo di jawa. Kepemimpinan raja atau sultan selalu didampingi dan didukung charisma para ulama tasawuf. Di kawasan sumatera bagian utara saja setidaknya ada empat sufi terkemuka, antara lain; Hamzah Fansuri (abad 17) di barus kota kecil di pantai barat sumatera. Dia adalah sufi terkenal melalui karya tulisannya “Asrar al-‘arifin” dan “Syarab al-‘Asyikin” serta beberapa kumpulan syair sufistiknya.
Kawasan aceh sebagai sentra penyiaran islam yang awal di nusantara menjadi markasnya sufi besar dan ulama pada masa kekuasaan sultan Alaudin Ri’ayat Syah, Sultan Iskandar Muda sampai masa kekuasaan Sultan ajul AlamSafiudin Syah. Syamsuddin Pasai penulis kitab Jauhar al-haqoriq dan miraat al-qulub (w.1630 M), selaku murid hamzah dia juga penganut tasawuf beraliran sama yaitu Ibn Arabi. Berbeda dengan kedua sufi diatas, abdul rauf sinkel (w.1639 M) adalah penganut tarekat Syattariyah. Tokoh populer lainnya adalah Naruddin ar-Raniri (w.1644 M) adalah penganut sunni dan penentang tasawuf Hamzah Fansuri.
Perkembangan islam di jawa untuk selanjutnya, digerakkan oleh ulama yang dikenal dengan panggilan wali songo. Dari peranan politik itu mereka dapat meminjam kekuasaan sultan dan kelompok elit keratin dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.
2. Reformasi Sufisme di Indonesia
Pengaruh gerakan wahibiyah yang diinspirasi ajaran Ibn Taimiyah sampai juga di Indonesia. Pada permulaan tahun 50-an, Hamka melalui bukunya “Tasawuf perkembangan dan pemurnian serta tasawuf modern” Bertasawuf bukan berarti menolak hidup (duniawi), tetapi bertasawuf juga harus tetap meleburkan diri kedalam gelanggang kehidupan masyarakat luas.
Sejalan dengan gagasan Hamka ini, NU sebagai organisasi islam yang menganut paham Aswaja adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf jamaahnya sesuai khittab Aswaja. Oleh karena itu bagi jamaah NU bertasawuf bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi tetapi justru harus terlibat langsung dalam segala aspek kehidupan.
Dari pihak lembaga pemerintahan, upaya untuk mengaktualkan sufisme di nusantara, muncul dari fakultas Usuluddin IAIN. Gagasan ini bersifat akademik, yakni dengan dibuka jurusan tasawuf pada fakultas tersebut sekitar tahun akademik 1960/1961 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3. Aliran tasawuf di Indonesia
Dengan semakin kuatnya mazhab Syafi’i, maka sufisme yang dipelajari di pesantren adalah tasawuf sunni yang bersumber dari tasawuf al-Ghazali. Lain halnya dengan tarekat, tasawuf yang diajarkan kelihatannya merupakan gabungan dari tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Sebab tarekat yang berkembang di Indonesia seluruhnya mengenal dan mengajarkan konsep al-fana’ , walaupun tidak seluruhnya persis seperti yang diajarkan oleh Abu yazid al-Busthami.
Upaya mengaktualkan sufisme melalui lembaga pendidikan formal adalah satu kejadian yang perlu ditingkatkan. Akhirnya, apabila dilihat dari aspek material dan aspek formalnya yang dikaitkan dengan kegersangan spiritual dewasa ini, kiranya pembakuan cabang-cabang sufisme berdasarkan tujuan yang ingin dicapai adalah pemurnian dan penguatan rohani, peningkatan intensitas dan kualitas ibadah.


Sumber bacaan:
Siregar,A Rivay.2002.Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme.Jakarta:raja grafindo persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar