Rabu, 10 November 2010

Ma'rifat dan Mahabbah

MAHABBAH

Paham al-Hubb ayau Mahabbah pertama kali diperkenalkan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah yang lahir di Basrah tahun 95 H dan meninggal dunia 185 H. menurut beliau Mahabbah adalah rindu dan pasrah kepada Allah. Seluruh ingatan dan perasaan kepada Allah. Bagi Beliau rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdian kepada Allah.
Mahabbah artinya cinta , Maksudnya adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah. Kata cinta (hubb) terdiri dari dua huruf "ha" dan "ba"yang menunjukkan si pecinta meninggalkan jiwanya sendiri (ruh) dan juga jasadnya (badannya). Menurut pendapat umum di kalangan Sufi, cinta adalah penyesuaian yang harmonis (Dengan Sang Kekasih) melalui hati, hingga si pecinta senantiasa merasa bersama dengan Kekasihnya.
Mahabbah dalam theologi Kristiani (Greek) disebut Agape, dalam istilah Hindu disebut bhakti, dalam agama Budha Mahayana disebut karuna. Inti ajaran mahabbah adalah merupakan sikap dari jiwa yang mengisyaratkan ke pengabdian diri atau pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan ego, dan menggantinya dengan cinta.
Para ulama menganggap cinta berarti kehendak atau hasrat, tetapi kaum sufi berpendapat lain, Abu Yazid al Bistami berkomentar, "Cinta adalah mengabaikan hal-hal yang sebesar apapun yang datang dari dirimu, dan memandang besar hal-hal sekecil apapun yang datang dari kekasihmu". Ketika al Junaid ditanya tentang cinta, jawabnya :"Cinta berarti sang kekasih mengambil sifat Kekasihnya dan membuang sifat-sifatnya sendiri." Di sini al-Junaid menunjukkan betapa hati si-pecinta direnggut oleh ingatan kepada sang Kekasih sehingga tak ada yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat sang Kekasih, sehingga si pecinta lalai dan tak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.
Cinta Allah kepada hamba-Nya berupa limpahan rahmat secara khusus kepada seorang hamba tertentu. Sebaliknya jika dikaitkan dengan hukuman disebut kemurkaan. Cinta jika dikaitkan dengan anugerah yang dilimpahkan secara universal disebut kasih sayang, dan jika dikaitkan dengan anugerah yang dilimpahkan secara khusus disebut "cinta".


MA’RIFAT

AL- Ma’rifat dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Siapa sufi pertama yang mengartikan ma’rifat nampaknya sulit dilacak. Namun apabila dilihat kembali kepada pendefinisian tasawuf, terlihat bahwa Ma’ruf al-Kharki (w.200H) sudah menggunakan terminology ini, dimana ia mengatakan : tasawuf ialah bersifat zuhud dan ma’rifat. Selain Ma’ruf, Al Darani (w.215H) juga telah menggunakan kata ma’rifat pada waktu ia menjelaskan kata tasawuf. Namun dalam sejarah dapat diketahui bahwa Al-Mishri(w.245H) merupakan orang pertama yang menganalisis ma’rifat secara konsepsional. Ia mengklarifikasikan ma’rifat kepada tiga kelas , yakni;
1. Ma’rifat tauhid sebagai ma’rifatnya orang awam.
2. Ma’rifat al-Burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifatnya mutakallimin dan filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal.
3. Ma’rifat para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan.
Ma’rifat awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi. Sedangkan ma’rifat mutakallimin merupakan pemahaman yang sifatnya rasional melalui berpikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifat para sufi merupakan penangkapan dan penghayatan langsung terhadap objek sehingga ia merasakan dan melihat objek itu.
Ma’rifat adalah melihat Allah dengan pandangan mata hati bukan dengan pandangan batin bukan dengan pandangan mata kepala. Ma’rifat merupakan mengenal Allah baik lewat sifat-sifatNya maupun Perbuatan-Nya , sehingga ma’rifat merupakan puncak dari tujuan tasawuf dan dari semua ilmu yang dituntut dan satu-satunya perbuatan yang paling mulia. (Labib Mz.2000.31)
Orang yang sudah mencapai ma’rifat billah disebut “Arif billah” dan pada tingkat inilah dia bias mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Bukan sekedar mengetahui tuhan itu ada. Menurut Al- Junaid bahwa orang orang ahli ma’rifat itu , membatasi tingkah lakunya menjadi empat perkara:
1. Orang ahli ma’rifat mengenal Allah, sehingga ia berkomunikasi langsung antara dia dengan Allah tanpa ada perantara.
2. Dasar hidup dan kehidupannya mengikuti sunnah rasul, meninggalkan akhlak rendah dan hina.
3. Mengikuti hawa nafsu yang dikehendaki Allah pada ajaran Al-quran.
4. Merasa dirinya milik Allah SWT dan kepadanya ia akan kembali.
Demikian itulah kebahagian yang hakiki dan yang sebenar-benarnya, adapun pengabdian kepada selain Allah adalah kebahagiaan yang didorong oleh hawa nafsu keserakahan dan tipu daya setan yang mengakibatkan kecelakaan.
Kemudian Al-Ghazali berkata: “barang siapa mengalami hanya dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tidak dapat diterangkan, indah , utama dan jangan lagi bertanya”. Beliau berkata lagi: “bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis di lauh makhfud , yaitu hati yang sudah bersih dan suci murni. Sehingga tempat untuk melihat dan mengenal Allah adalah hati.” Sesungguhnya yang diharapkan oleh ahli ma’rifat kepada Allah adalah hidup dengan ikhlas dengan ridha Allah saja tanpa ada pamrih yang akan mengakibatkan jiwa kotor dan menjauhkan diri dari Allah. Padahal hidup hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Menurut pendapat Abu Bakar Az-Zahir Ubaidi, ma’rifat nama artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap atheis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan). Alat untuk memperoleh ma’rifat oleh para shufi disebut Sir. Dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah telah disebutkan: ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan oleh orang shufi dengan hubungan mereka denga Tuhan. Adapun tiga alat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qalb : Untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
2. Ruh : Untuk mencintai Allah.
3. Sir : Untuk melihat Allah.
Sir lebih halus dari ruh dan ruh itu lebih halus daripada qalb. Qalbu itu tidak sama dengan jantung , sebab qalb selain dari alat untuk merasa adalah alat untuk berfikir.
Menurut pendapat shufi, Ma’rifat ialah sifat orang yang mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah dan sebagai bukti pengenalanya ialah ketundukan kepada Allah dengan cara meninggalkan sifat-sifat yang tercela , selalu ingat kepada Allah sehingga Allah mencintainya dan memberi karunia kepadanya yang berupa petunjuk, sehingga dengan petunjuk itu, ia tidak dapat dipalingkan oleh apapun ke arah yang tidak diridhai oleh Allah.
Ketika syeh Dzinnun Al-Misri ditanya seseorang, denga apa tuan mencapai Ma’rifat ? Beliau menjawab :”Aku mencapai ma’rifat dengan karunia dari tuhanku dan kalau bukan karena karunia dari tuhanku maka akupun tidak memperoleh ma’rifat”.
Ibnu Athailah membagi ma’rifat menjadi dua bagian yaitu:
1. Ma’rifat Umum ialah mengenal tuhan yang diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya. Dan seluruh makhluk-Nya diwajibkan untuk mengenal Allah, kemudian memuji dengan pujian yang sangat sesuai dengan keadaan setiap makhluk masing-masing.
2. Ma’rifat Khusus ialah pengenalan yang lahir dari musyahadah, maka seorang arif adalah orang yang telah mengenal dzat, sifat, asma dan af’al Allah dengan perantara musyahadah. Seseorang yang alim mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadah, bahkan hanya melalui kepercayaan biasa saja. Dalam hal ini Imam Ghazali berkata : bahwa seseorang dapat mengenal Tuhannya melalui indranya, dan pengenalan tertinggi ialah pengenalan dengan karunia Tuhan tersendiri. Oleh karena itu seseorang tidak akan mencapai tingkat ma’rifat yang sebenarnya , melainkan orang yang dikehendaki oleh Allah , ialah para nabi dan orang-orang shiddiq.
Menurut Imam Ghazali , Ma’rifat khusus ialah keinginan untuk mengenal Dzat, Sifat Allah dan menolak segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah.
Ma’rifat yang demikianlah yang wajib bagi setiap insan, sesuai dengan ajaran Al-quran dan sunnah serta sesuai dengan ijma’ ummat. Jadi untuk mencapai ma’rifat itu tidak cukup dengan jalan melalui dalil-dalil atau bukan semata didapat melalui akal atau banyaknya amalan akan tetapi ma’rifat billah dapat dicapai dengan pertolongan Allah , disamping berusaha mendapatkanya melalui amal sholeh.
Al-Hubb atau Mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan dengan ma’rifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut ma’rifat. Mahabbah mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu kepada Allah, rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah.





Sumber bacaan:
Siregar,A Rivay.2002.Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme.Jakarta:raja grafindo persada.
Mz,Labib.2000.Memahami Ajaran Tashowuf.Surabaya: Tiga Dua.
Djajaprana, Ferry.2008. Mahabbah (Cinta) Seri Ke 13 Belajar Tasawuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar