Senin, 08 November 2010

Sejarah perkembangan Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang pengetahuan agama islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, apa yang harus di yakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqidah”. Kedua, tentang apa yang harus di amalkan umat islam dalam kehidupannya. pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi Ilmu “Syari’ah”.
Ilmu Syari’ah itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang Muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya, disebut “Ushul Feqih”. Dengan demikian, ushul feqih merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam. Ushul feqih dipelajari sejalan dengan mempelajari feqih dan diajarkan sejalan dengan pelajaran feqih.
Ilmu Feqih menurut syara’ dalah pengetahuan tentang hukum syari’ah yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalilnya secara detail. Atau kumpulan hukum-hukum syari’at yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalil secara detail.
Berdasarkan penelitian, para ulama’ telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syari’at yang sebangsa perbuatan itu ada empat: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al Ijma’, Al-Qiyas. Dan bahwa sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum syari’at adalah Al-Qur’an kemudian as-Sunnah sebagai penjelas atas kegelobalan Al-Qur’an, pembatas keumumannya, mengikat kebebasannya dan sebagai penerang serta penyempurna.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian feqih dan ushul feqih?
2. Apa obyek dan Tujuan feqih dan ushul feqih?
3. Bagaimana pembentukan dan perkembangan ilmu feqih dan ushul feqih?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian feqih dan ushul feqih?
2. Untuk mengetahui obyek feqih dan ushul feqih?
3. Untuk mengetahui pembentukan dan perkembangan ilmu feqih dan ushul feqih?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh
Kata feqih secara etimologi berarti paham yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal. Bila paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka feqih berarti paham yang menyampaikan ilmu dhohir kepada ilmu batin. Karena itulah At Tirmidzi menyebutkan, “feqih tentang sesuatu”, berarti mengetahui batiniyah sampai kepada kedalamannya.
Secara definisi, feqih berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amalia yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil tafsili.
Adapun pengertian feqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun amaliah (furu’iah)
Makna dari kata ushul feqih dapat dilihat dari dua aspek: ushul feqih kata majmuk (murokkab), dan ushul feqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, ushul feqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ushl dan kata feqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Feqih diibaratkan dengan ilmu karena feqih itu semacam ilmu pengetahuan. Memang feqih itu tidak sama dengan ilmu, karena fiqih bersifat dhonni. Feqih adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan Dhonnya. Sedankan ilmu tidak bersifat dhonni seperti feqih. Namun karena dhon dalam feqih itu kuat, maka ia mendekati kepada ilmu.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, feqih itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahannya menemukan hukum Allah. Keterangan di atas menunjukkan bahwa objek kajian feqih adalah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib, sunnah, makruh, dan mubah serta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hukum tersebut.
2. Obyek Feqih dan Ushul Feqih
Obyek pembahasan ilmu feqih adalah perbuatan orang mukallaf ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’. Maka seorang ahli feqih membahas masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai, perwakilan, sholat, puasa, haji, pembuuhan, tuduhan, pencurian, ikrar, wakaf yang semuanya dilakukan orang mukallaf demi mengetahui hukum syara’ atas perbuatan-perbuatan tersebut.
Sedangkan obyek pembahaan ilmu ushul feqih adalah dalil syara’ yang bersifat umum ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’ yang bersifat umum pula. Seorang ahli ushul feqih membahas masalah qias dan kekuatannya sebagai dasar hukum, dalil umum dan yang membatasinya, perintah dan yang bermakna perintah.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh
Dalam fiqh ada salah satu cabang ilmu yang disebut Tarikh al-Tasyri’ yang berisikan sejarah serta perkembangan hokum islam. Dalam buku-buku Tarikh al-Tasyri’ biasa diadakan pembabakan atau periodisasi hukumislam atas dasar ciri-ciri khas dan hal-hal yang menonjol pada suatu kurun waktu tertentu. Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi menjadi lima periode:(1)Periode Rasulullah, (2) Periode Sahabat, (3) Periode Imam-imam Mujtahid, (4) Periode Kemunduran, (5) Periode Kebangunan kembali. Untuk mempermudah pembelajaran maka kami buatkan peta konsep sebagai berikut:
Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh
Periode Rasulullah
(Selama menjadi Rasul Sekitar 22 Tahun)

Periode Sahabat
(Meninggal Nabi sampai awal abad kedua)

Periode Imam-imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
(Awal abad kedua sampai abad keempat H sekitar 250 tahun)

Periode Kemunduran
(dari pertengahan abad keempat hijriah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas hijriah)

Periode Kebangkitan Kembali
(Akhir abad 13 H samapai sekarang)
1. Periode Rasulullah
a. Masa Mekkah dan Madinah
Periode ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW menjadi nabi dan rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat. Hanya sekitar 22 tahun dan beberapa bulan saja. Akan tetapi, sangat menentukan. Pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fiqih selanjutnya besar sekali. Masa Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari al-Quran maupun As-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat maupun yang tersirat dari semangat al-Qur’an dan as-sunnah.
Periode rasulallah ini dibagi dua masa yaitu: masa mekah dan masa madinah. Pada masa makkah, diarah untuk memperbaiki akidah, karena akidah yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh karena itu, dapat kita pahami apabila Rasulullah pada masa itu mulai da’wahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang beraqidah tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan Al-Ahklak Al-karimah, masa mekkah ini mulai sejak diangkatnya Muhammad SAW. Menjadi rasul sampai beliau hijrah ke madinah. Yaitu dalam waktu kurang lebih selama dua belas tahun lebih.
Di madinah kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan baru yang membutuhkan cara pengaturan yang baik dalam hubungan antar individu muslim maupun dalam hubungannya dengan kelompok lain di lingkungan masyarakat madinah, seperti kelompok Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, di Madinah di syariatkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.
b. Sumber Hukum Masa Rasulullah
a) Al-Quran
Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, berbeda dengan turunnya Taurat kepada nabi Musa. Al Quran turun sesuai dengan kejadian / peristiwa atau kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hokum-hukumnya, member jawaban atas pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa .
Contoh kasus Larangan menikahi wanita Musyrik, peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganami yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita Musyrikah, maka turun ayat:
                               •     •      ••   
Artinya:
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS. Al-Baqarah:221)

b) Al- Sunnah
Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam alquran. Seperti shalat dijelaskan cara-cara dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran. Ada pula hadist yang member hokum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam alquran.

c) Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah pun ternyata ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabat dan juga dari kaus Muadz bin jabal yang diutus ke Yunan.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat ubtuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena: “Memberikan contoh bagaimana cara penarikan hukum dari dalil dalil yang Kulli ”, agar para ahli hukum islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam alquran dan Al-Sunnah.


2. Periode Sahabat
Pada masa ini Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Di samping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat Islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam. Yang menurut Ameer Ali, pada hakikatnya : “ permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang dikobarkan oleh perselisihan dinasti” .
Perselisihan suku ini memang ada pada zaman jahiliah, kemudian pada zaman Rasulullah dinetralisasi dengan konsep dan pelaksanaan ukhuwah Islamiah; Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW., sampai akhir abad pertama hijriah.
a. Sumber Hukum
Pada masa ini ada usaha yag positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khatab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan.
Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, Memang pekerjaannya lebih sulit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an karena : Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan.Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist.
Akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadits dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama Islam pada periode selanjutnya harus meneliti keadaan periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapatan karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.
b. Ijtihad Sahabat
Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat.
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadits, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Keputusan inilah berbentuk ijtihad jama’i, sedangkan apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal.
Jadi pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber yaitu Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’I dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.
Yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini adalah :
a. Penafsiran para sahabat tentang ayat-ayat hukum
b. Sejumlah fatwa sahabat dalam kasus-kasus yang tidak ada nash hukumnya.
c. Terpecahnya umat menjadi tiga golongan, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Muslimin.
3. Periode Imam-imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
Periode ini berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua hijriah sampai pertengahan abad keempat hijriah.
a. Sumber Hukum
Ada dua hal yang penting tentang Al-Quran pada masa ini, yaitu:
Pertama: adanya kegiatan menghafal Al-Quran
Kedua: Memperbaiki tulisan Al-Quran dan memberi Syakal terhadap Al-Quran. Hal ini dirasa penting, sebab orang muslim non-arab bisa salah dalam membaca Al-Quran. Maka Abu al-Aswad Aduali member syakal di setiap akhir kata, yaitu: diberi titik diatas huruf sebagai tanda fathah, adapun tanda kashrah dengan satu titik di bawah huruf, tanda dhomah dengan satu titik disamping huruf dan tanda tanwin dengan dua titik. Kemudian hal tersebut disempurnakan oleh Al-Kholil bin Ahmad dan Nash bin Ashim.
Untuk hadist pun sebagai sumber hukum yang kedua pada masa ini mulai dibukukan, antara lain yang sampai kepada kita Kitab al-Muwatha’ yang disusun oleh imam Malik pada tahun 140 H.
Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah digunakan, meskipun para ulama di setiap daerah memiliki warna masing-masing dalam berijtihad. Misalnya, Abu Hanifah di Irak selain Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ lebih menekankan penggunaan Qiyas dan istihsan, sedangkan Imam Malik di Hijaz selain Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ lebih menekankan al-maslahah al-mursalah.
Adapun sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqh dan gairahnya berijtihad pada periode ini antara lain adalah :
1). Wilayah islam sudah sangat luas, sudah tentu negeri yang luas membutuhkan pengaturan serta fatwa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Untuk perundang-undangan dan fatwa ini tidak ada sumber lain kecuali syari’ah. Kondisi macam ini mendorong para ulama berijtihad agar bisa menerapkan syariah untuk semua wilayah yang berbeda-beda lingkungannya dan bermacam-macam masalah yang dihadapi.
2). Para ulama pada masa itu telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang mereka dapatkan dari periode sebelumnya. Disamping alquran telah dibukukan dan telah tersebar di kalangan muslimin, demikian pula As-Sunnah sudah mulai dibukukan pada permulaan abad ketiga.
3). Seluruh kaum muslimin mempunyai keinginan yang keras agar semua sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan syari’at islam. Mereka meminta fatwa kepada para ulama, oleh karena itu para ulama menjadi sumber yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keadaan yang semacam ini mendorong para ulama untuk berijtihad lebih keras lagi.
4). Pada periode ini memang dilahirkan ulama – ulama yang memiliki potensi untuk menjadi mujtahid. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad ibnu Hanbal.

b. Yang Diwariskan Oleh Periode Ini Kepada Periode Selanjutnya
Hal-hal yang terpenting yang diwariskan oleh periode ini kepada periode berikutnya antara lain :
1. Al-Sunnah yang telah dibukukan. Sebagian dibukukan menurut urutan sanad hadist dan sebagian berdasarkan bab-bab fiqh. Selain itu, Al-Quran telah lengkap dengan syakalnya.
2. Fiqh yang telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya. Diantaranya Kitab Dhahir al-Riwayah al-Sittah di kalangan mazhab Hanafi, Kitab al-‘Umm di kalangan mazhab As-Syafi’I dan lain sebagainya.
3. Dibukukan ilmu Ushul Fiqh. Orang yang pertama kali mengumpulkan prinsip-prinsip berijtihad dengan sistematis dan memberikan alas an tertentu adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’I dalam kitabnya Al-Risalah. Oleh karena itu, beliaulah sebagai pencipta ilmu Ushul Fiqh.
4. Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini yaitu yang terkenal dengan nama Madrasah Al-Hadist dan Madrasah Al-Ra’yi.
4. Periode Kemunduran
Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas hijriah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani memakai kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang tersebut materi-materi Fiqh disusun dengan sistematis dalam satu kitab undang-undang hukum perdata.
a. Faktor-faktor Penyebab Kemunduran
Pada periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh :
1. Kemunduran di bidang politik, misalnya terpecahnya dunia islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling mengfitnah dan berperang sesama muslim yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqh.
2. Dengan dianutnya pendapat mazhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti mazhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al-Quran dan As-Sunnah.
3. Dengan banyaknya kitab-kitab fiqh, para ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah yang dihadapi. Hal itu sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat mazhab-mazhab lain serta tanpa memerhatikan kembali Al-Quran dan Sunnah, membawa akibat kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya.
4. Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di barat tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan islam di timur tahun 1258 M, maka berhentilah kebudayaan islam baik di barat maupun di timur. Ulama – ulama di bagian Timur berusaha mencoba untuk menyelamatkan masyarakat dengan melarang berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat, dengan demikian diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak banyak menolong, karena nasib suatu masyarakat tidak hanya tergantung pada suatu keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas perorangan.
b. Klasifikasi Mujtahid
Kerja para ulama pada masa ini masih sekitar hasil ijtihad para imam-imam mujtahid sebelumnya. Misalnya membuat ikhtisar-ikhtisar yang disebut matan. Kemudian matan ini diberi penjelasan – penjelasan lagi yang disebut syarah dan syarah-syarah ini diberi penjelasan lagi yang disebut Hasyiah. Hal ini tidak mengandung arti tidak ada sama sekali ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam ijtihadnya selalu mengikatkan diri dengan mazhab yang ada. Atas dasar ini kemudian timbul istilah seperti mujtahid mutlak, mujtahid fi al mazhab, dan lain-lain seperti dalam pembahasan di bawah ini :
1. Mujtahid Mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istimbat hokum, mereka inilah imam-imam mazhab. Seperti Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu para Mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Mazhab dalam Ushul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil ijtihadnya ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat imam mazhab. Seperti al-Muzani dalam Mazhab Syafi’i.
3. Mujtahid al-Mazhad, yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab baik dalam ushul maupun Furu hanya berbeda dalam penerapannya.jadi, hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhab, seperti al-Ghozali dalam mazhab al-Syafi’i.
4. Mujtahid fi al-Masail, yaitu Mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam mereka. Seperti al-Karhi di kalangan mazhad Hanafi dan Ibnu Arabia di kalangan Mazhab Maliki.
5. Ahlu Takhrij, yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada dalam mazhadnya, seperti al-Jashosh dalam mazhab Hanafi.
6. Ahli Tarjih, yaitu fuqaha yang kegiatannya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhadnya.
Di samping itu bisa juga ditinjau dari sisi lain yaitu:
a. Mujtahid yang mempunyai kemampuan dalam membentuk hukum dengan metodenya yang mandiri.
b. Mujtahid yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam batas-batas metode ijtihad Imam mazhadnya.
c. Mujtahid yang hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam mazhadnya.

5. Periode Kebangkitan Kembali
a. Tanda-tanda Kemajuan
1. Di Bidang Perundang-Undangan
Periode ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-Ahkam al-Adliyah yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam pemerintah Turki Usmani pada tahun 1292 H atau tahun 1876 M. baik bentuk maupun isi dari kitab tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab Fiqh satu mazhab tertentu. Bentuknya adalah bentuk dan isi mazhab tertentu saja, walaupun warna Hanafi sangat kuat.
2. Di Bidang Pendidikan
Di perguruan-perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari satu mazhab tertentu, tetapi juga dipelajari mazhab-mazhab yang lain secara muqoronah atau perbandingan, bahkan juga dipelajari sitem Hukum Adat dan system Hukum Romawi.
Dengan demikian diharapkan wawasan berpikir hukum di kalangan mahasiswa islam menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan hukum islam dengan hukum yang selama ini berlaku, bukan hanya di bidang hukum keluarga tapi juga diberbagai bidang hukum lainnya.
3. Di Bidang Penulisan Buku-Buku dalam Bahasa dan Penerjemahan
Seperti yang kita ketahui ajaran islam pada umumnya dan fiqh pada khususnya tertulis dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa arab. Tetapi sekarang tampak satu kegiatan penulisan tentang Ushul fiqh dan fiqh dalam bahasa Indonesia. Demikian pula dengan penerjemahan menampakkan kegiatan yang meningkat meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kitab yang ada. Oleh karena itu, untuk jadi seorang ahli dalam bidang fiqh tetap harus kembali membaca dan meneliti kitab fiqh aslinya dalam bahasa arab.
Bagaimanapun juga kitab-kitab ushul fiqh dan fiqh dalam bahasa Indonesia serta terjemahanya sangat bermanfaat untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran dalam bidang fiqh kepada kalangan yang lebih luas.
b. Penilaian Dunia Internasional Terhadap Syari’ah Islam
Pada bulan Agustus 1932 berlangsung Konferensi Perbandingan Hukum Internasional (Comperative International Law Conference) di Den Haag Belanda. Dalam konferensi itu Prof. Dr. Ali Badawi berbicara tentang; hubungan antara Agama dan Hukum, sebagai jalan untuk sampai kepada pembicaraan tentang syari’ah islam. Akhirnya konferensi memutuskan agar dalam konferensi selanjutnya diadakan bagian khusus bagi syari’ah islam sebagai salah satu sumber dalam perbandingan hukum.
Pada bulan agustus 1937, diadakan lagi sidang. Pada akhirnya konferensi memutuskan antara lain:
1. Hukum islam sebagai salah satu sumber perundang-undangan umum.
2. Hukum islam berdiri sendiri, tidak mengambil hukum romawi.
3. Hukum islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang.
Pada bulan juli 1951, Fakultas Hukum Universitas Paris mengadakan pembahasan tentang hukum Islam dalam satu kegiatan dengan nama “Pekan Hukum Islam”. Yang dibahas adalah tentang: Penetapan hak milik, pemilikan Negara untuk kepentingan umum, pertanggungjawaban pidana, pengaruh mazhab fiqh satu sama lain dan teori tentang riba dalam islam.
Pada akhirnya seminar tersebut memutuskan :
a. Tidak diragukan lagi bahwa prinsip-prinsip Hukum Islam mempunyai nilai-nilai dari segi hukum.
b. Perbedaan pendapat dan mazhab-mazhab mengandung kekayaan pengetahuan hukum yang menakjubkan. Oleh karena itu, Hukum Islam dapat memenuhi kebutuhan hidup modern.
b.Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh mulai tumbuh pada abad ke dua Hijriyah, karena pada abad sebelumnya ilmu ini belum diperlukan. Rosulullah SAW telah memberikan fakta (mengenai suatu hukum) dan memberikan putusan hukum berdasarkan wahyu Allah dalam Al-Qur’an dan ilham Allah menurut as Sunnah serta menurut ijtihad Rosul yang suci tanpa memerlukan dasar atau kaidah dalam menetapkan hukum dan ijtihadnya. Para sahabat memberikan fatwa dan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka pahami dengan naluri pemahaman bahasa arab mereka yang murni tanpa memerlukan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Mereka juga menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan kemampuan mereka yang tersimpan dalam jiwa mereka selama menemani Rosulullah. Mengetahui sebab turunnya ayat atau hadis dan pengetahuan mereka tentang tujuan pembuatan hukum syara’ dan dasar-dasar penetapannya. Tetapi, ketika penaklukan Islam terjadinya asimilasi bangsa Arab dan lainnya dalam hal ini pembicaraan dan penulisan, kemudian kata-kata dan gaya bahasa baru (non Arab) masuk dalam bahasa Arab yang menjadikan naluri berbahasa sudah tidak murni lagi, banyak terjadi kesamaran dan kerancuan makna dalam memahami suatu nash. Maka diperlukan suatu batasan dan kaidah bahasa untuk dapat memahami suatu nash secara murni sebagaimana nash itu diturunkan dan dipahami oleh penerimanya. Seperti juga dibutuhkannyasuatu kaidah tata bahasa agar bahasa yang terucap menjadi benar.
Demikian pula ketika masa pembentukan hukum telah berselang lama, semakin sengit pertentangan antara ahli hadits dan ahli ra’yi dan semakin berani sebagian orang yang menuruti nafsunya untuk menjadikan dalil terhadap sesuatu yang bukan dalil serta mengingkari dalil yang semestinya. Hal ini mendorong agar segera disusun batasan dan bahasan tentang dalil-dalil syara’ serta cara menggunakan dalil-dalil tersebut. Dari pembahasan mengenai dalil-dalil syara’ sekaligus cara penggunaannya dan aturan tata bahasa itulah terbentuk ilmu ushul fikih.
Ilmu itu pada permulaannya masih berskala kecil, sebagaimana seorang anak pada awal pertumbuhannya. Kemudan beranjak berkembang sampai berusia 200 tahun. Ia mulai berkembang dan tersebar di antara hukum-hukum fikih. Sedangkan siapa saja yang bertentangan berarti ia menggunakan cara berhujjah yang tidak sesuai dengan kaidah ushul fikih, padahal semua metode pengambilan dalil dan cara penggunaan hujjah telah tercakup dalam kaidah-kaidah ushul fikih.
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang tersebar ke dalam suatu kitab tersendiri adalah imam Abu Yusuf, penganut faham Abu Hanifah, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu al Nadim dalam sebuah catatan kaki, tetapi kitab itu tidak sampai kepada kita.
Sedangkan orang yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul fikih disertai pembahasannya secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian adalah Imam Muhammad bin Idris a Syafi’i, wafat tahun 204 H. Dia telah menulis risalah tentang ushul fikih yang kemudian diriwayatkan oleh muridnya Rabi’ al Muradi. Kitab inilah yang pertama kali disusun berisi tentang ilmu ushul fikih yang sampai kepada kita. Sehingga dikenal oleh para Ulama bahwa peletak dasar ilmu ushul fikih adalah Imam al Syafi’i.
Kemudian berturut-turut para ulama menyusun ilmi ushul fikih ini dengan memperpanjang pembahasannya dan meringkasnya. Para ahli ilmu teologi juga ikut menyusun ilmu ushul fikih dengan menggunakan metodenya. Sedangkan ulama madzhab Hanafi dalam penyusunannya menggunakan metode yang lain.
Keistimewaan ulama teologi dalam menyusun ilmu ushul fikih adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya secara logis dan rasional dengan didukung bukti-bukti yang ada. Mereka tidak mengarahkan perhatian pada penerapan hukum yang telah ditetapkan oleh imam-imam mujtahid dan hubungan kaidah dengan masalah khilafiyah, tetapi apa saja yang rasional dan didukang oleh bukti-bukti itulah yang menjadi sumber hukum syara’; baik sesuai dengan masalah khilafiyah antar madzhab atau tidak. Kebanyakan ulama yang ahli dalam bidang ini adalah kelompok Syafi’ dan Maliki.
Sedangkan kitab ushul fikih yang terkenal dengan menggunakan metode di atas antara lain: al Mustashfa karangan Abu Hamid al Ghazali al Syafi’i (wafat tahun 505 H.), kitab al Ahkam karangan Abu Hasan al Amidi al Syafi’i (wafat tahun 631 H.), kitab al Minhaj karangan al Baidhawi al Syafi’i (wafat tahun 685 H.). adapun kitab yang berisi penjelasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Syarah al Asnawi.
Adapun keistimewaan metode yang ditempuh madzhab Hanafi adalah mereka menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul feqih yang mereka yakini bahwa imam-imam mereka telah mengunakan kaidah dan pembahasan tersebut dalam ijtihadnya. Mereka tidak menetapkan kaidah yang sebangsa jadi perbuatan yang menjadi pokok dari hukum imam-imam mereka. Adapun yang merangsang mereka untuk membuktikan kaidah tersebut adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imam-imam mereka yang berpedoman pada kaidah itu sendiri, bukan hanya sekedar dalil rasional. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab mereka banyak yang menyebut masalah khilafiyah. Suatu ketika mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul feqih terhadap masalah yang telah disepakati dari hal-hal yang bersifat khilafiyah. Jadi, perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul feqih imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Adapun kitab ushul feqih yang terkenal dengan mengunakan metode ini antara lain: kitab ushul feqih karangan Abu Zaid al Dabusi. Sedangkan kitab yang berisi tentang penjelasan dan komentar terbaik adalah kitab Miskatul Anwar.
Sebagian ulama’ juga menyusun ilmu ushul feqih ini dengan mengabungkan antara dua metode di atas. Artinya, mereka membuktikan kaidah-kaidah ushul feqih sekaligus membeberkan dalil-dalilnya, juga menerapkan kaidah-kaidah ushul feqih terhadap masalah feqih khilafiyah sekaligus hubungan kaidah dengan masalah khilafiyah.
Adapun kitab ushul feqih yang terkenal dengan mengunakan metode gabungan ini antara lain: kitab Badi’un Nizham, al Tauthih li shadris Syari’ah, al Tahrir dan Jam’ul Jawami’.
Sedangkan kitab-kitab yang ringkas dan berguna dalam mempelajari ilmu itu antara lain: irsyadhul fuhuul ilaa tahqiqil haqi min’ilmil ushul karangan imam syaukani



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Fiqh secara etimologi berarti paham yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal. Secara definisi, fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amalia yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil tafsili. pengertian feqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun amaliah (furu’iah).
Ilmu ushul fiqh mulai tumbuh pada abad ke dua Hijriyah, karena pada abad sebelumnya ilmu ini belum diperlukan. Rosulullah SAW telah memberikan fakta (mengenai suatu hukum) dan memeberikan putusan hukum berdasarkan wahyu Allah dalam Al-Qur’an dan ilham Allah menurut as Sunnah serta menurut ijtihad Rosul yang suci tanpa memerlukan dasar atau kaidah dalam menetapkan hukum dan ijtihadnya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi menjadi lima periode:(1)Periode Rasulullah, (2) Periode Sahabat, (3) Periode Imam-imam Mujtahid, (4) Periode Kemunduran, (5) Periode Kebangunan kembali.












DAFTAR PUSTAKA

A Djazuli.2006. ILMU FIQH Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana
Biek, Muhammad Al Khudari. 2007. Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani
Khollaf, Abd Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Feqih, Kuwaid: Darul Qolam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar