Jumat, 12 November 2010

Qadiriah dan Naqsabandiyah

Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat Qadiriyah
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’, di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Al-Qu’ran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.



Qodiriyah di Indonesia
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Silsilahnya
1. M Mustain Romli, 2. Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.
Tarekat Naqsyabandiyah
Tariqah Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua"). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab yaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Bahauddin Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.

Pendiri Tariqat Naqsabandiyah
Beliau adalah Imam Tariqat Hadhrat Khawajah Khawajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijriah bersamaan 1317 Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah ‘alaih dan seterusnya menerima rahasia-rahasia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal Rahmatullah ‘alaih.
Beliau telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari delapan perkara Yaitu: Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan, Khalwat Dar Anjuman.

Perkembangan Tariqat Naqsabandiyah
Adapun gelaran nama Naqshbandiyah ini mula masyhur di zaman Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahwa nama Tariqat Naqshbandiyah ini berbeda-beda menurut zaman.
Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Siddiqiyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi.
Di zaman Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat.
Kemudian di zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan delapan prinsip asas Tariqat iaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman.
Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Pada zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Bermula dari zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini mula dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih.
Pada zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi sekembalinya beliau dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah beliau menerima isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini dan beliau telah membawanya ke negara Timur Tengah.
Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih mula memperkenalkan amalan Suluk yaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini mula dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebar ratalah ia di Tanah Melayu dan Indonesia. Walau bagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah.
Adapun Para Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat mereka sendiri untuk membedakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah ini telah berkembang biak dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeda, namun ikatan keruhanian dari rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan hingga Hari Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan kepada sekalian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini.
Bermujahadah melawan hawa nafsu. Kerana itulah Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih mencapai ketinggian Ruhani dan menjadi seorang Mahaguru Tariqat dan penghulu pemimpin keruhanian pada zamannya.

Kamis, 11 November 2010

Wahdatul Wujud

AL-WAHDATUL AL-WUJUD

Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul, yang dibawa oleh Muhyi al-Din Ibn Arabi kelahiran spanyol pada tahun 560 H dan meninggal pada 638 H di Damaskus.
Dikatakan paham ini sebagai perluasan konsepsi al-hulul karena nasut yang ada dalam al-hulul ia ganti dengan khalq (makhluk), sedang lahut menjadi alHaqq(Tuhan). Khalq dan al-haqq adalah dua sisi dari segala sesuatu, dua aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek batinnya disebut al-haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek batin.
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa paham ini adalah patheistik tetapi sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara wahdatul wujud dengan pantheisme. Menurut paham ibn al-Arabi ini hakekat wujud itu hanya satu yaitu Allah sedangkan wujud yang banyak itu hanya bayangan (ilusi) dari yang satu itu. Dalam patheisme jauhar atau esensi Tuhan itu terdapat pada setiap yang ada. Menurut konsepsi ini, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung pada wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada maka wujud yang selain Tuhan tidak ada. Dengan demikian, wujud yang lain itu tergantung pada wujud Tuhan dan oleh karenanya yang memiliki wujud hakiki hanyalah Allah.
Selain doktrin dari Ibn al-Arabi ini ternyata masih ada tipe kesatuan wujud yang lebih ekstrim, yaitu kesatuan mutlak yang merupakan hasil rekayasa rasa dan rasio Ibn Syabi’in (w. 669 H). dari Murcia Andalusia. Secara esensil paham ini nampaknya sederhana karena katanya, wujud adalah satu yakni wujud Allah, sedangkan wujud-wujud lainnya itu adalah wujud AllahYang Esa itu juga.keberadaan segala sesuatu itu pada hakikatnya tidak berbeda dari wujud yang satu sehinggawujud hanya satu dan selalu satu, maka disebut kesatuan mutlak.
Pola piker Ibn Syabi’in ini berangkat dari satu aksioma yang disepakati yaitu Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang ada, asal dari semua wujud pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Namun perlu diingat, nampaknya konsep ada menurut Ibn Syabi’in adalah bermakna sprilitual-rohaniah, bukan material. Sebab wujud ia gambarkan sebuah lingkaran yang porosnya adalah wujud mutlak yang tiada batas. Sedangkan wujud yang lainnya itu adalah nisbi dan berada di dalam lingkaran wujud mutlak itu. Atas dasar inilah ia mengatakan bahwa wujud itu hanya satu karena keduanya adalah sama.
Dalam membicarakan hal ini, ia berangkat dari postulat bahwa wujud itu hanya satu, tidak banyak, yakni TUhan sebagai realitas Tunggal dan sebagai wujud mutlak, sedangkan wujud-wujud yang lainnya itu adalah illuminasi (pancaran) atau pantulan dari wujud mutlak melalui tajalli secara berantai. Dari wujud mutlak keluar Aqal Awal yang juga disebut Aqal al-Kulli. Aqal Awal adalah asal kejadian segala yang ada melalui proses ini dari Aqal awal melimpah (memancar) jiwa alam dan selanjutnya melimpah pada jisim Al-Kulli yang dalam filsafat disebut hayula, yang disebut Ibn al-Arabi sebagai habaa. Haba adalah wujud non materi yang merupakan bahan baku bagi kejadian alam semesta ini, penamaan haba ini menurut Ibn Arabi didasarkan pada al-quran surat al-Waqiah 6 : “fakanat habaa an mumbassa”.
Menurut konsepsi ini, wujud ada empat kualitas, yaitu :
1. Allah sebagai wujud mutlak
2. Aqal awal atau aqal kulli atau haqiqat al-Muhammadiyah
3. Nafs al-Kulliyat
4. Jisim Kulli atau habaa.
Seluruh wujud makhluk ini adalah sempurna sesuai dengan urut-urutan kejadiaanya, sesuai dengan jauh dekatnya dari wujud mutlak sebagai wujud yang sempurna.

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN POLITIK
1. Sejarah Perkembanganya
Keberadaan tasawuf di nusantara, tidak bias lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tersebar luasnya islam di Indonesia sebagian besar karena jasa sufi. Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi etos kerja mereka itu, kelihatanya hamper terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu adalah berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsure yang cukup dominant dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan islam di aceh sampai pada masa wali songo di jawa. Kepemimpinan raja atau sultan selalu didampingi dan didukung charisma para ulama tasawuf. Di kawasan sumatera bagian utara saja setidaknya ada empat sufi terkemuka, antara lain; Hamzah Fansuri (abad 17) di barus kota kecil di pantai barat sumatera. Dia adalah sufi terkenal melalui karya tulisannya “Asrar al-‘arifin” dan “Syarab al-‘Asyikin” serta beberapa kumpulan syair sufistiknya.
Kawasan aceh sebagai sentra penyiaran islam yang awal di nusantara menjadi markasnya sufi besar dan ulama pada masa kekuasaan sultan Alaudin Ri’ayat Syah, Sultan Iskandar Muda sampai masa kekuasaan Sultan ajul AlamSafiudin Syah. Syamsuddin Pasai penulis kitab Jauhar al-haqoriq dan miraat al-qulub (w.1630 M), selaku murid hamzah dia juga penganut tasawuf beraliran sama yaitu Ibn Arabi. Berbeda dengan kedua sufi diatas, abdul rauf sinkel (w.1639 M) adalah penganut tarekat Syattariyah. Tokoh populer lainnya adalah Naruddin ar-Raniri (w.1644 M) adalah penganut sunni dan penentang tasawuf Hamzah Fansuri.
Perkembangan islam di jawa untuk selanjutnya, digerakkan oleh ulama yang dikenal dengan panggilan wali songo. Dari peranan politik itu mereka dapat meminjam kekuasaan sultan dan kelompok elit keratin dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.
2. Reformasi Sufisme di Indonesia
Pengaruh gerakan wahibiyah yang diinspirasi ajaran Ibn Taimiyah sampai juga di Indonesia. Pada permulaan tahun 50-an, Hamka melalui bukunya “Tasawuf perkembangan dan pemurnian serta tasawuf modern” Bertasawuf bukan berarti menolak hidup (duniawi), tetapi bertasawuf juga harus tetap meleburkan diri kedalam gelanggang kehidupan masyarakat luas.
Sejalan dengan gagasan Hamka ini, NU sebagai organisasi islam yang menganut paham Aswaja adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf jamaahnya sesuai khittab Aswaja. Oleh karena itu bagi jamaah NU bertasawuf bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi tetapi justru harus terlibat langsung dalam segala aspek kehidupan.
Dari pihak lembaga pemerintahan, upaya untuk mengaktualkan sufisme di nusantara, muncul dari fakultas Usuluddin IAIN. Gagasan ini bersifat akademik, yakni dengan dibuka jurusan tasawuf pada fakultas tersebut sekitar tahun akademik 1960/1961 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3. Aliran tasawuf di Indonesia
Dengan semakin kuatnya mazhab Syafi’i, maka sufisme yang dipelajari di pesantren adalah tasawuf sunni yang bersumber dari tasawuf al-Ghazali. Lain halnya dengan tarekat, tasawuf yang diajarkan kelihatannya merupakan gabungan dari tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Sebab tarekat yang berkembang di Indonesia seluruhnya mengenal dan mengajarkan konsep al-fana’ , walaupun tidak seluruhnya persis seperti yang diajarkan oleh Abu yazid al-Busthami.
Upaya mengaktualkan sufisme melalui lembaga pendidikan formal adalah satu kejadian yang perlu ditingkatkan. Akhirnya, apabila dilihat dari aspek material dan aspek formalnya yang dikaitkan dengan kegersangan spiritual dewasa ini, kiranya pembakuan cabang-cabang sufisme berdasarkan tujuan yang ingin dicapai adalah pemurnian dan penguatan rohani, peningkatan intensitas dan kualitas ibadah.


Sumber bacaan:
Siregar,A Rivay.2002.Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme.Jakarta:raja grafindo persada.

fana' dan baqa'

AL-FANA’ dan AL-BAQO’

 AL-FANA’
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana’ artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibnu Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk lainnya dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana’.
Untuk mencapai “ Liqa’ Allah “ ( pertemuan dengan Allah ) menurut penjelasan dalam surat Al-Kahfi : 110, ada dua kewajiban yang harus dijalankan terlebih dahulu:
1. Mengerjakan amal sholeh ,dengan menghilangkan segala sifat tercela dan menetapkan sifat-sifat terpuji.
2. Meniadakan segala sesuatu termasuk dirinya, sehingga yang ada hanyalah Allah semata dalam beribadah. Inilah yang dimaksud menfana’kan diri.
Penghancuran diri itulah fana’ yang dicari oleh kaum shufi yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Banyak tokoh shufi yang telah mengatakan tentang fana’. Dalam sejarah tasawuf, Saydina Ali Bin Abi Tholib. Ia berkata : ”dan dalam fana’ ku(leburku) leburlah kefana’ anku, tetapi didalam keadaanku itulah aku mendapatkan Tuhan Allah.
Hakikat dari fana’ itu sendiri , dalam hal ini Al-Qusayri telah mengemukakan bahwa fana’ adalah lenyapnya indrawi. Tanda-tanda khasyaf adalah :
1. Ia fana’ dari dirinya sebab Tuhan telah nampak.
2. Ia fana’ dari sifat-sifat Tuhan , sebab rahasia ke-Tuhanan telah nampak.
3. ia fana’ terhadap segala yang bersangkutan sifatnya, sebab Tahqiqnya dzatullah.
Tanda mendapatkan Dzatullah adalah apabila kamu telah selesai saat dalam keadaan di atas .Fana’ mempunyai empat tingkatan yaitu :
1. Fana’ Fi.Af Alillah.
”Tiada perbuatan melainkan Allah”.
Tingkat pertama ini , seseorang telah mulai dimana akal pikiran mulai tidak lagi berjalan, melainkan terjadi dengan ilham , tiba-tiba nur Illahi terbit dengan hati sanubari , kehadiran hati besama Allah dalam situasi manapun, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah .Dalam tingat fana’ ini hacurlah hijab dan kegelapan yakni , semua itu telah fana’ dan dengan fana’nya itu maka yang ada hanyalah Nur Iman dan Taukhid.

2. Fana’ Fisshifat
” Tiada yang hidup sendiri melainkan Allah”
Fana’ tingkat ini , seseorang sudah mulai dalam situasi putusnya diri dari alam indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan. Dalam arti bahwa situasi mematikan diri dan menisbatkan sifat Allah , menfana’ kan sifat-sifat diri ke dalam ke baqaan Allah yang mempunyai sifat sempurnya . Firman Allah dalam Al-Hasyr : 23, artinya:
” Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia , Maha Raja , Maha Suci,Yang Maha Sejahtera , yang mengaruniakan keamanan , Yang Maha Memelihara , Yang Maha Perkasa , Yang Maha Kuasa ,Yang Maha memiliki segala ke-Agungan ! Maha suci Allah dari segala apa mereka persekutukan.”. (Qs.Al-Hasyr 123)

3. Fana’ Fil Asma
” Tiada yang patut dipuji melainkan Allah.”
Pada tingkat ketiga ini seseorang sudah lebih dalam lagi fana’nya. Segal sifat keinsananya telah lenyap sama sekali dari alam wujud yang gelap ini , masuk ke dalam alam ghoib.

4. Fana’ Fidz Dzat
” Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah”.
Pada fana’ yang ke empat ini seseorang telah memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan dan kiri. Tidak ada depan dan belakang .dia telah mencapai martabat”syuhudul Haqqi bil Haqqi” .Dia telah lenyap dari dirinya ssendiri, dalam keadaan mana hanya dalam kebaqa’an Allah semata.
Dapat disimpulkan ringkasannya bahwa segalanya telah hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak . Dan dapat juga diambil kesimpulan akhir yaitu dapat diambil penegrtian masalah fana’ yaitu membersihkan diri lahir batin , menfana’ kan segala penyerupaan-penyerupaan Allah dari sifat-sifat kekurangan .kebaruan.
Hikmah fana’ antara lain:
1. Dengan adanya fana’ kita dapat mengetahuidan mengerti tentang pentaukidan Tuhan semurni-murninya dalam arti tiada wujud mutlaq kecuali hanya Allah.
2. Ma’rifat billah semurni-murninya tidak sekedar dengan pengakuan adanya dan ke-Esaan saja dengan ucapan kalimat syahadat tetapi mengenal Tuhan dalam arti ”ma’rifat”.
 AL-BAQA’
Baqa’ merupakan akibat dari fana’. Secara harfiah baqa’ berarti kekal. Sedang menurut yang dimaksud sufi baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya (fana’) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat Ilahiah. Dalam istilah tasawuf fana’ dan baqa’ datang beriringan, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ahli tasawuf:
”Apabila tampaklah nur kebaqaan maka fanalah yang tiada dan baqa’lah yang kekal.”
Jadi baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat untuk mencapai baqa’ itu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
Ketika Abu yazid telah fana’ dan mencapai baqa’ maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahaminya akan menimbulkan kesan seola-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia yaitu manusia yang mengalami pengalaman bathin bersatu dengan Tuhan. Diantara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya yaitu: ”tidak ada Tuhan selain saya, amat sucilah saya”.

Sumber bacaan:
Mz,Labib.2000.Memahami Ajaran Tasowuf.Surabaya:Tiga Dua.
Nata,Abuddin.2003.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Rabu, 10 November 2010

Al-Ittihad dan Al-Hulul

Al-Ittihad dan Al-Hulul

 Al-Ittihad
Al-Ittihad yakni penyatuan batin dan rohaniah dengan Tuhan. Karena tujuan fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah Ittihad. Hal ini sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana’ dan baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Badawi yang dilihat hanya satu wujud yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan dirasakan hanya stu wujud. Maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan).
Dalam situasi ittihad yang demikian itu seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga alah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata :”hai aku”.
Dengan demikian jika sang sufi mengatakan Maha Suci aku, maka yang dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan melalui Fana’ dan Baqa’.
Faham ittihad ini juga dipahami dari keadaan ketika nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata : “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepadaMu ?”. Tuhan berfirman : Tinggalkan dirimu (lnyapkan dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dan riwayat diatas memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah yang caranya antara lain dengan beramal shaleh dan beribadah semata-mata karena Allah.
 Al-Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaanyamelalui fana’ menurut keterangan Abu Nasr Al-Tusi dalam Al-Luma sebagaimana yang dikutip Harun Nasution adalah Paham yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusiatertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini bertolak dari dasar pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat pada dua sifat dasar , yaitu Bahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat melalui teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama At-Tawasin.
Menurt Al-Hallaj bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Nabi Adam, karena dalam diri adam Allah menjelma sebagaimana agama nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa as. Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuknya dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadist yang artinya:
“Tuhan mencipataka Adam sesuai bentuknya”
Tokoh yang mengembangkan paham Al-Hulul adalah Al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Manshur Al-Hallaj. Ia lahir tahun 244H (858M) di negeri baidha salah satu kota kecil yang terletak di Persia.



Sumber bacaan:
Nata,Abuddin.2003.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Ma'rifat dan Mahabbah

MAHABBAH

Paham al-Hubb ayau Mahabbah pertama kali diperkenalkan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah yang lahir di Basrah tahun 95 H dan meninggal dunia 185 H. menurut beliau Mahabbah adalah rindu dan pasrah kepada Allah. Seluruh ingatan dan perasaan kepada Allah. Bagi Beliau rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdian kepada Allah.
Mahabbah artinya cinta , Maksudnya adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah. Kata cinta (hubb) terdiri dari dua huruf "ha" dan "ba"yang menunjukkan si pecinta meninggalkan jiwanya sendiri (ruh) dan juga jasadnya (badannya). Menurut pendapat umum di kalangan Sufi, cinta adalah penyesuaian yang harmonis (Dengan Sang Kekasih) melalui hati, hingga si pecinta senantiasa merasa bersama dengan Kekasihnya.
Mahabbah dalam theologi Kristiani (Greek) disebut Agape, dalam istilah Hindu disebut bhakti, dalam agama Budha Mahayana disebut karuna. Inti ajaran mahabbah adalah merupakan sikap dari jiwa yang mengisyaratkan ke pengabdian diri atau pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan ego, dan menggantinya dengan cinta.
Para ulama menganggap cinta berarti kehendak atau hasrat, tetapi kaum sufi berpendapat lain, Abu Yazid al Bistami berkomentar, "Cinta adalah mengabaikan hal-hal yang sebesar apapun yang datang dari dirimu, dan memandang besar hal-hal sekecil apapun yang datang dari kekasihmu". Ketika al Junaid ditanya tentang cinta, jawabnya :"Cinta berarti sang kekasih mengambil sifat Kekasihnya dan membuang sifat-sifatnya sendiri." Di sini al-Junaid menunjukkan betapa hati si-pecinta direnggut oleh ingatan kepada sang Kekasih sehingga tak ada yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat sang Kekasih, sehingga si pecinta lalai dan tak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.
Cinta Allah kepada hamba-Nya berupa limpahan rahmat secara khusus kepada seorang hamba tertentu. Sebaliknya jika dikaitkan dengan hukuman disebut kemurkaan. Cinta jika dikaitkan dengan anugerah yang dilimpahkan secara universal disebut kasih sayang, dan jika dikaitkan dengan anugerah yang dilimpahkan secara khusus disebut "cinta".


MA’RIFAT

AL- Ma’rifat dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Siapa sufi pertama yang mengartikan ma’rifat nampaknya sulit dilacak. Namun apabila dilihat kembali kepada pendefinisian tasawuf, terlihat bahwa Ma’ruf al-Kharki (w.200H) sudah menggunakan terminology ini, dimana ia mengatakan : tasawuf ialah bersifat zuhud dan ma’rifat. Selain Ma’ruf, Al Darani (w.215H) juga telah menggunakan kata ma’rifat pada waktu ia menjelaskan kata tasawuf. Namun dalam sejarah dapat diketahui bahwa Al-Mishri(w.245H) merupakan orang pertama yang menganalisis ma’rifat secara konsepsional. Ia mengklarifikasikan ma’rifat kepada tiga kelas , yakni;
1. Ma’rifat tauhid sebagai ma’rifatnya orang awam.
2. Ma’rifat al-Burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifatnya mutakallimin dan filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal.
3. Ma’rifat para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan.
Ma’rifat awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi. Sedangkan ma’rifat mutakallimin merupakan pemahaman yang sifatnya rasional melalui berpikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifat para sufi merupakan penangkapan dan penghayatan langsung terhadap objek sehingga ia merasakan dan melihat objek itu.
Ma’rifat adalah melihat Allah dengan pandangan mata hati bukan dengan pandangan batin bukan dengan pandangan mata kepala. Ma’rifat merupakan mengenal Allah baik lewat sifat-sifatNya maupun Perbuatan-Nya , sehingga ma’rifat merupakan puncak dari tujuan tasawuf dan dari semua ilmu yang dituntut dan satu-satunya perbuatan yang paling mulia. (Labib Mz.2000.31)
Orang yang sudah mencapai ma’rifat billah disebut “Arif billah” dan pada tingkat inilah dia bias mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Bukan sekedar mengetahui tuhan itu ada. Menurut Al- Junaid bahwa orang orang ahli ma’rifat itu , membatasi tingkah lakunya menjadi empat perkara:
1. Orang ahli ma’rifat mengenal Allah, sehingga ia berkomunikasi langsung antara dia dengan Allah tanpa ada perantara.
2. Dasar hidup dan kehidupannya mengikuti sunnah rasul, meninggalkan akhlak rendah dan hina.
3. Mengikuti hawa nafsu yang dikehendaki Allah pada ajaran Al-quran.
4. Merasa dirinya milik Allah SWT dan kepadanya ia akan kembali.
Demikian itulah kebahagian yang hakiki dan yang sebenar-benarnya, adapun pengabdian kepada selain Allah adalah kebahagiaan yang didorong oleh hawa nafsu keserakahan dan tipu daya setan yang mengakibatkan kecelakaan.
Kemudian Al-Ghazali berkata: “barang siapa mengalami hanya dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tidak dapat diterangkan, indah , utama dan jangan lagi bertanya”. Beliau berkata lagi: “bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis di lauh makhfud , yaitu hati yang sudah bersih dan suci murni. Sehingga tempat untuk melihat dan mengenal Allah adalah hati.” Sesungguhnya yang diharapkan oleh ahli ma’rifat kepada Allah adalah hidup dengan ikhlas dengan ridha Allah saja tanpa ada pamrih yang akan mengakibatkan jiwa kotor dan menjauhkan diri dari Allah. Padahal hidup hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Menurut pendapat Abu Bakar Az-Zahir Ubaidi, ma’rifat nama artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap atheis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan). Alat untuk memperoleh ma’rifat oleh para shufi disebut Sir. Dalam Ar-Risalah Al-Qusyairiyah telah disebutkan: ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan oleh orang shufi dengan hubungan mereka denga Tuhan. Adapun tiga alat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qalb : Untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
2. Ruh : Untuk mencintai Allah.
3. Sir : Untuk melihat Allah.
Sir lebih halus dari ruh dan ruh itu lebih halus daripada qalb. Qalbu itu tidak sama dengan jantung , sebab qalb selain dari alat untuk merasa adalah alat untuk berfikir.
Menurut pendapat shufi, Ma’rifat ialah sifat orang yang mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah dan sebagai bukti pengenalanya ialah ketundukan kepada Allah dengan cara meninggalkan sifat-sifat yang tercela , selalu ingat kepada Allah sehingga Allah mencintainya dan memberi karunia kepadanya yang berupa petunjuk, sehingga dengan petunjuk itu, ia tidak dapat dipalingkan oleh apapun ke arah yang tidak diridhai oleh Allah.
Ketika syeh Dzinnun Al-Misri ditanya seseorang, denga apa tuan mencapai Ma’rifat ? Beliau menjawab :”Aku mencapai ma’rifat dengan karunia dari tuhanku dan kalau bukan karena karunia dari tuhanku maka akupun tidak memperoleh ma’rifat”.
Ibnu Athailah membagi ma’rifat menjadi dua bagian yaitu:
1. Ma’rifat Umum ialah mengenal tuhan yang diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya. Dan seluruh makhluk-Nya diwajibkan untuk mengenal Allah, kemudian memuji dengan pujian yang sangat sesuai dengan keadaan setiap makhluk masing-masing.
2. Ma’rifat Khusus ialah pengenalan yang lahir dari musyahadah, maka seorang arif adalah orang yang telah mengenal dzat, sifat, asma dan af’al Allah dengan perantara musyahadah. Seseorang yang alim mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadah, bahkan hanya melalui kepercayaan biasa saja. Dalam hal ini Imam Ghazali berkata : bahwa seseorang dapat mengenal Tuhannya melalui indranya, dan pengenalan tertinggi ialah pengenalan dengan karunia Tuhan tersendiri. Oleh karena itu seseorang tidak akan mencapai tingkat ma’rifat yang sebenarnya , melainkan orang yang dikehendaki oleh Allah , ialah para nabi dan orang-orang shiddiq.
Menurut Imam Ghazali , Ma’rifat khusus ialah keinginan untuk mengenal Dzat, Sifat Allah dan menolak segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah.
Ma’rifat yang demikianlah yang wajib bagi setiap insan, sesuai dengan ajaran Al-quran dan sunnah serta sesuai dengan ijma’ ummat. Jadi untuk mencapai ma’rifat itu tidak cukup dengan jalan melalui dalil-dalil atau bukan semata didapat melalui akal atau banyaknya amalan akan tetapi ma’rifat billah dapat dicapai dengan pertolongan Allah , disamping berusaha mendapatkanya melalui amal sholeh.
Al-Hubb atau Mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan dengan ma’rifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut ma’rifat. Mahabbah mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu kepada Allah, rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah.





Sumber bacaan:
Siregar,A Rivay.2002.Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme.Jakarta:raja grafindo persada.
Mz,Labib.2000.Memahami Ajaran Tashowuf.Surabaya: Tiga Dua.
Djajaprana, Ferry.2008. Mahabbah (Cinta) Seri Ke 13 Belajar Tasawuf.

Senin, 08 November 2010

Sejarah perkembangan Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang pengetahuan agama islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, apa yang harus di yakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqidah”. Kedua, tentang apa yang harus di amalkan umat islam dalam kehidupannya. pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi Ilmu “Syari’ah”.
Ilmu Syari’ah itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang Muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya, disebut “Ushul Feqih”. Dengan demikian, ushul feqih merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam. Ushul feqih dipelajari sejalan dengan mempelajari feqih dan diajarkan sejalan dengan pelajaran feqih.
Ilmu Feqih menurut syara’ dalah pengetahuan tentang hukum syari’ah yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalilnya secara detail. Atau kumpulan hukum-hukum syari’at yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalil secara detail.
Berdasarkan penelitian, para ulama’ telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syari’at yang sebangsa perbuatan itu ada empat: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al Ijma’, Al-Qiyas. Dan bahwa sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum syari’at adalah Al-Qur’an kemudian as-Sunnah sebagai penjelas atas kegelobalan Al-Qur’an, pembatas keumumannya, mengikat kebebasannya dan sebagai penerang serta penyempurna.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian feqih dan ushul feqih?
2. Apa obyek dan Tujuan feqih dan ushul feqih?
3. Bagaimana pembentukan dan perkembangan ilmu feqih dan ushul feqih?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian feqih dan ushul feqih?
2. Untuk mengetahui obyek feqih dan ushul feqih?
3. Untuk mengetahui pembentukan dan perkembangan ilmu feqih dan ushul feqih?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh
Kata feqih secara etimologi berarti paham yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal. Bila paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka feqih berarti paham yang menyampaikan ilmu dhohir kepada ilmu batin. Karena itulah At Tirmidzi menyebutkan, “feqih tentang sesuatu”, berarti mengetahui batiniyah sampai kepada kedalamannya.
Secara definisi, feqih berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amalia yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil tafsili.
Adapun pengertian feqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun amaliah (furu’iah)
Makna dari kata ushul feqih dapat dilihat dari dua aspek: ushul feqih kata majmuk (murokkab), dan ushul feqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, ushul feqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ushl dan kata feqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Feqih diibaratkan dengan ilmu karena feqih itu semacam ilmu pengetahuan. Memang feqih itu tidak sama dengan ilmu, karena fiqih bersifat dhonni. Feqih adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan Dhonnya. Sedankan ilmu tidak bersifat dhonni seperti feqih. Namun karena dhon dalam feqih itu kuat, maka ia mendekati kepada ilmu.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, feqih itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahannya menemukan hukum Allah. Keterangan di atas menunjukkan bahwa objek kajian feqih adalah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib, sunnah, makruh, dan mubah serta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hukum tersebut.
2. Obyek Feqih dan Ushul Feqih
Obyek pembahasan ilmu feqih adalah perbuatan orang mukallaf ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’. Maka seorang ahli feqih membahas masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai, perwakilan, sholat, puasa, haji, pembuuhan, tuduhan, pencurian, ikrar, wakaf yang semuanya dilakukan orang mukallaf demi mengetahui hukum syara’ atas perbuatan-perbuatan tersebut.
Sedangkan obyek pembahaan ilmu ushul feqih adalah dalil syara’ yang bersifat umum ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’ yang bersifat umum pula. Seorang ahli ushul feqih membahas masalah qias dan kekuatannya sebagai dasar hukum, dalil umum dan yang membatasinya, perintah dan yang bermakna perintah.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh
Dalam fiqh ada salah satu cabang ilmu yang disebut Tarikh al-Tasyri’ yang berisikan sejarah serta perkembangan hokum islam. Dalam buku-buku Tarikh al-Tasyri’ biasa diadakan pembabakan atau periodisasi hukumislam atas dasar ciri-ciri khas dan hal-hal yang menonjol pada suatu kurun waktu tertentu. Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi menjadi lima periode:(1)Periode Rasulullah, (2) Periode Sahabat, (3) Periode Imam-imam Mujtahid, (4) Periode Kemunduran, (5) Periode Kebangunan kembali. Untuk mempermudah pembelajaran maka kami buatkan peta konsep sebagai berikut:
Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh
Periode Rasulullah
(Selama menjadi Rasul Sekitar 22 Tahun)

Periode Sahabat
(Meninggal Nabi sampai awal abad kedua)

Periode Imam-imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
(Awal abad kedua sampai abad keempat H sekitar 250 tahun)

Periode Kemunduran
(dari pertengahan abad keempat hijriah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas hijriah)

Periode Kebangkitan Kembali
(Akhir abad 13 H samapai sekarang)
1. Periode Rasulullah
a. Masa Mekkah dan Madinah
Periode ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW menjadi nabi dan rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat. Hanya sekitar 22 tahun dan beberapa bulan saja. Akan tetapi, sangat menentukan. Pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fiqih selanjutnya besar sekali. Masa Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari al-Quran maupun As-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat maupun yang tersirat dari semangat al-Qur’an dan as-sunnah.
Periode rasulallah ini dibagi dua masa yaitu: masa mekah dan masa madinah. Pada masa makkah, diarah untuk memperbaiki akidah, karena akidah yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh karena itu, dapat kita pahami apabila Rasulullah pada masa itu mulai da’wahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang beraqidah tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan Al-Ahklak Al-karimah, masa mekkah ini mulai sejak diangkatnya Muhammad SAW. Menjadi rasul sampai beliau hijrah ke madinah. Yaitu dalam waktu kurang lebih selama dua belas tahun lebih.
Di madinah kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan baru yang membutuhkan cara pengaturan yang baik dalam hubungan antar individu muslim maupun dalam hubungannya dengan kelompok lain di lingkungan masyarakat madinah, seperti kelompok Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, di Madinah di syariatkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.
b. Sumber Hukum Masa Rasulullah
a) Al-Quran
Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, berbeda dengan turunnya Taurat kepada nabi Musa. Al Quran turun sesuai dengan kejadian / peristiwa atau kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hokum-hukumnya, member jawaban atas pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa .
Contoh kasus Larangan menikahi wanita Musyrik, peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganami yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita Musyrikah, maka turun ayat:
                               •     •      ••   
Artinya:
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS. Al-Baqarah:221)

b) Al- Sunnah
Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam alquran. Seperti shalat dijelaskan cara-cara dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran. Ada pula hadist yang member hokum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam alquran.

c) Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah pun ternyata ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabat dan juga dari kaus Muadz bin jabal yang diutus ke Yunan.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat ubtuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena: “Memberikan contoh bagaimana cara penarikan hukum dari dalil dalil yang Kulli ”, agar para ahli hukum islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam alquran dan Al-Sunnah.


2. Periode Sahabat
Pada masa ini Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Di samping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat Islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam. Yang menurut Ameer Ali, pada hakikatnya : “ permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang dikobarkan oleh perselisihan dinasti” .
Perselisihan suku ini memang ada pada zaman jahiliah, kemudian pada zaman Rasulullah dinetralisasi dengan konsep dan pelaksanaan ukhuwah Islamiah; Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW., sampai akhir abad pertama hijriah.
a. Sumber Hukum
Pada masa ini ada usaha yag positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khatab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan.
Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, Memang pekerjaannya lebih sulit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an karena : Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan.Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist.
Akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadits dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama Islam pada periode selanjutnya harus meneliti keadaan periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapatan karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.
b. Ijtihad Sahabat
Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat.
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadits, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Keputusan inilah berbentuk ijtihad jama’i, sedangkan apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal.
Jadi pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber yaitu Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’I dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.
Yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini adalah :
a. Penafsiran para sahabat tentang ayat-ayat hukum
b. Sejumlah fatwa sahabat dalam kasus-kasus yang tidak ada nash hukumnya.
c. Terpecahnya umat menjadi tiga golongan, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Muslimin.
3. Periode Imam-imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
Periode ini berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua hijriah sampai pertengahan abad keempat hijriah.
a. Sumber Hukum
Ada dua hal yang penting tentang Al-Quran pada masa ini, yaitu:
Pertama: adanya kegiatan menghafal Al-Quran
Kedua: Memperbaiki tulisan Al-Quran dan memberi Syakal terhadap Al-Quran. Hal ini dirasa penting, sebab orang muslim non-arab bisa salah dalam membaca Al-Quran. Maka Abu al-Aswad Aduali member syakal di setiap akhir kata, yaitu: diberi titik diatas huruf sebagai tanda fathah, adapun tanda kashrah dengan satu titik di bawah huruf, tanda dhomah dengan satu titik disamping huruf dan tanda tanwin dengan dua titik. Kemudian hal tersebut disempurnakan oleh Al-Kholil bin Ahmad dan Nash bin Ashim.
Untuk hadist pun sebagai sumber hukum yang kedua pada masa ini mulai dibukukan, antara lain yang sampai kepada kita Kitab al-Muwatha’ yang disusun oleh imam Malik pada tahun 140 H.
Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah digunakan, meskipun para ulama di setiap daerah memiliki warna masing-masing dalam berijtihad. Misalnya, Abu Hanifah di Irak selain Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ lebih menekankan penggunaan Qiyas dan istihsan, sedangkan Imam Malik di Hijaz selain Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ lebih menekankan al-maslahah al-mursalah.
Adapun sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqh dan gairahnya berijtihad pada periode ini antara lain adalah :
1). Wilayah islam sudah sangat luas, sudah tentu negeri yang luas membutuhkan pengaturan serta fatwa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Untuk perundang-undangan dan fatwa ini tidak ada sumber lain kecuali syari’ah. Kondisi macam ini mendorong para ulama berijtihad agar bisa menerapkan syariah untuk semua wilayah yang berbeda-beda lingkungannya dan bermacam-macam masalah yang dihadapi.
2). Para ulama pada masa itu telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang mereka dapatkan dari periode sebelumnya. Disamping alquran telah dibukukan dan telah tersebar di kalangan muslimin, demikian pula As-Sunnah sudah mulai dibukukan pada permulaan abad ketiga.
3). Seluruh kaum muslimin mempunyai keinginan yang keras agar semua sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan syari’at islam. Mereka meminta fatwa kepada para ulama, oleh karena itu para ulama menjadi sumber yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keadaan yang semacam ini mendorong para ulama untuk berijtihad lebih keras lagi.
4). Pada periode ini memang dilahirkan ulama – ulama yang memiliki potensi untuk menjadi mujtahid. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad ibnu Hanbal.

b. Yang Diwariskan Oleh Periode Ini Kepada Periode Selanjutnya
Hal-hal yang terpenting yang diwariskan oleh periode ini kepada periode berikutnya antara lain :
1. Al-Sunnah yang telah dibukukan. Sebagian dibukukan menurut urutan sanad hadist dan sebagian berdasarkan bab-bab fiqh. Selain itu, Al-Quran telah lengkap dengan syakalnya.
2. Fiqh yang telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya. Diantaranya Kitab Dhahir al-Riwayah al-Sittah di kalangan mazhab Hanafi, Kitab al-‘Umm di kalangan mazhab As-Syafi’I dan lain sebagainya.
3. Dibukukan ilmu Ushul Fiqh. Orang yang pertama kali mengumpulkan prinsip-prinsip berijtihad dengan sistematis dan memberikan alas an tertentu adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’I dalam kitabnya Al-Risalah. Oleh karena itu, beliaulah sebagai pencipta ilmu Ushul Fiqh.
4. Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini yaitu yang terkenal dengan nama Madrasah Al-Hadist dan Madrasah Al-Ra’yi.
4. Periode Kemunduran
Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas hijriah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani memakai kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang tersebut materi-materi Fiqh disusun dengan sistematis dalam satu kitab undang-undang hukum perdata.
a. Faktor-faktor Penyebab Kemunduran
Pada periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh :
1. Kemunduran di bidang politik, misalnya terpecahnya dunia islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling mengfitnah dan berperang sesama muslim yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqh.
2. Dengan dianutnya pendapat mazhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti mazhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al-Quran dan As-Sunnah.
3. Dengan banyaknya kitab-kitab fiqh, para ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah yang dihadapi. Hal itu sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat mazhab-mazhab lain serta tanpa memerhatikan kembali Al-Quran dan Sunnah, membawa akibat kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya.
4. Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di barat tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan islam di timur tahun 1258 M, maka berhentilah kebudayaan islam baik di barat maupun di timur. Ulama – ulama di bagian Timur berusaha mencoba untuk menyelamatkan masyarakat dengan melarang berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat, dengan demikian diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak banyak menolong, karena nasib suatu masyarakat tidak hanya tergantung pada suatu keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas perorangan.
b. Klasifikasi Mujtahid
Kerja para ulama pada masa ini masih sekitar hasil ijtihad para imam-imam mujtahid sebelumnya. Misalnya membuat ikhtisar-ikhtisar yang disebut matan. Kemudian matan ini diberi penjelasan – penjelasan lagi yang disebut syarah dan syarah-syarah ini diberi penjelasan lagi yang disebut Hasyiah. Hal ini tidak mengandung arti tidak ada sama sekali ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam ijtihadnya selalu mengikatkan diri dengan mazhab yang ada. Atas dasar ini kemudian timbul istilah seperti mujtahid mutlak, mujtahid fi al mazhab, dan lain-lain seperti dalam pembahasan di bawah ini :
1. Mujtahid Mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istimbat hokum, mereka inilah imam-imam mazhab. Seperti Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu para Mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Mazhab dalam Ushul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil ijtihadnya ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat imam mazhab. Seperti al-Muzani dalam Mazhab Syafi’i.
3. Mujtahid al-Mazhad, yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab baik dalam ushul maupun Furu hanya berbeda dalam penerapannya.jadi, hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhab, seperti al-Ghozali dalam mazhab al-Syafi’i.
4. Mujtahid fi al-Masail, yaitu Mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam mereka. Seperti al-Karhi di kalangan mazhad Hanafi dan Ibnu Arabia di kalangan Mazhab Maliki.
5. Ahlu Takhrij, yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada dalam mazhadnya, seperti al-Jashosh dalam mazhab Hanafi.
6. Ahli Tarjih, yaitu fuqaha yang kegiatannya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhadnya.
Di samping itu bisa juga ditinjau dari sisi lain yaitu:
a. Mujtahid yang mempunyai kemampuan dalam membentuk hukum dengan metodenya yang mandiri.
b. Mujtahid yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam batas-batas metode ijtihad Imam mazhadnya.
c. Mujtahid yang hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam mazhadnya.

5. Periode Kebangkitan Kembali
a. Tanda-tanda Kemajuan
1. Di Bidang Perundang-Undangan
Periode ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-Ahkam al-Adliyah yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam pemerintah Turki Usmani pada tahun 1292 H atau tahun 1876 M. baik bentuk maupun isi dari kitab tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab Fiqh satu mazhab tertentu. Bentuknya adalah bentuk dan isi mazhab tertentu saja, walaupun warna Hanafi sangat kuat.
2. Di Bidang Pendidikan
Di perguruan-perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari satu mazhab tertentu, tetapi juga dipelajari mazhab-mazhab yang lain secara muqoronah atau perbandingan, bahkan juga dipelajari sitem Hukum Adat dan system Hukum Romawi.
Dengan demikian diharapkan wawasan berpikir hukum di kalangan mahasiswa islam menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan hukum islam dengan hukum yang selama ini berlaku, bukan hanya di bidang hukum keluarga tapi juga diberbagai bidang hukum lainnya.
3. Di Bidang Penulisan Buku-Buku dalam Bahasa dan Penerjemahan
Seperti yang kita ketahui ajaran islam pada umumnya dan fiqh pada khususnya tertulis dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa arab. Tetapi sekarang tampak satu kegiatan penulisan tentang Ushul fiqh dan fiqh dalam bahasa Indonesia. Demikian pula dengan penerjemahan menampakkan kegiatan yang meningkat meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kitab yang ada. Oleh karena itu, untuk jadi seorang ahli dalam bidang fiqh tetap harus kembali membaca dan meneliti kitab fiqh aslinya dalam bahasa arab.
Bagaimanapun juga kitab-kitab ushul fiqh dan fiqh dalam bahasa Indonesia serta terjemahanya sangat bermanfaat untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran dalam bidang fiqh kepada kalangan yang lebih luas.
b. Penilaian Dunia Internasional Terhadap Syari’ah Islam
Pada bulan Agustus 1932 berlangsung Konferensi Perbandingan Hukum Internasional (Comperative International Law Conference) di Den Haag Belanda. Dalam konferensi itu Prof. Dr. Ali Badawi berbicara tentang; hubungan antara Agama dan Hukum, sebagai jalan untuk sampai kepada pembicaraan tentang syari’ah islam. Akhirnya konferensi memutuskan agar dalam konferensi selanjutnya diadakan bagian khusus bagi syari’ah islam sebagai salah satu sumber dalam perbandingan hukum.
Pada bulan agustus 1937, diadakan lagi sidang. Pada akhirnya konferensi memutuskan antara lain:
1. Hukum islam sebagai salah satu sumber perundang-undangan umum.
2. Hukum islam berdiri sendiri, tidak mengambil hukum romawi.
3. Hukum islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang.
Pada bulan juli 1951, Fakultas Hukum Universitas Paris mengadakan pembahasan tentang hukum Islam dalam satu kegiatan dengan nama “Pekan Hukum Islam”. Yang dibahas adalah tentang: Penetapan hak milik, pemilikan Negara untuk kepentingan umum, pertanggungjawaban pidana, pengaruh mazhab fiqh satu sama lain dan teori tentang riba dalam islam.
Pada akhirnya seminar tersebut memutuskan :
a. Tidak diragukan lagi bahwa prinsip-prinsip Hukum Islam mempunyai nilai-nilai dari segi hukum.
b. Perbedaan pendapat dan mazhab-mazhab mengandung kekayaan pengetahuan hukum yang menakjubkan. Oleh karena itu, Hukum Islam dapat memenuhi kebutuhan hidup modern.
b.Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh mulai tumbuh pada abad ke dua Hijriyah, karena pada abad sebelumnya ilmu ini belum diperlukan. Rosulullah SAW telah memberikan fakta (mengenai suatu hukum) dan memberikan putusan hukum berdasarkan wahyu Allah dalam Al-Qur’an dan ilham Allah menurut as Sunnah serta menurut ijtihad Rosul yang suci tanpa memerlukan dasar atau kaidah dalam menetapkan hukum dan ijtihadnya. Para sahabat memberikan fatwa dan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka pahami dengan naluri pemahaman bahasa arab mereka yang murni tanpa memerlukan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Mereka juga menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan kemampuan mereka yang tersimpan dalam jiwa mereka selama menemani Rosulullah. Mengetahui sebab turunnya ayat atau hadis dan pengetahuan mereka tentang tujuan pembuatan hukum syara’ dan dasar-dasar penetapannya. Tetapi, ketika penaklukan Islam terjadinya asimilasi bangsa Arab dan lainnya dalam hal ini pembicaraan dan penulisan, kemudian kata-kata dan gaya bahasa baru (non Arab) masuk dalam bahasa Arab yang menjadikan naluri berbahasa sudah tidak murni lagi, banyak terjadi kesamaran dan kerancuan makna dalam memahami suatu nash. Maka diperlukan suatu batasan dan kaidah bahasa untuk dapat memahami suatu nash secara murni sebagaimana nash itu diturunkan dan dipahami oleh penerimanya. Seperti juga dibutuhkannyasuatu kaidah tata bahasa agar bahasa yang terucap menjadi benar.
Demikian pula ketika masa pembentukan hukum telah berselang lama, semakin sengit pertentangan antara ahli hadits dan ahli ra’yi dan semakin berani sebagian orang yang menuruti nafsunya untuk menjadikan dalil terhadap sesuatu yang bukan dalil serta mengingkari dalil yang semestinya. Hal ini mendorong agar segera disusun batasan dan bahasan tentang dalil-dalil syara’ serta cara menggunakan dalil-dalil tersebut. Dari pembahasan mengenai dalil-dalil syara’ sekaligus cara penggunaannya dan aturan tata bahasa itulah terbentuk ilmu ushul fikih.
Ilmu itu pada permulaannya masih berskala kecil, sebagaimana seorang anak pada awal pertumbuhannya. Kemudan beranjak berkembang sampai berusia 200 tahun. Ia mulai berkembang dan tersebar di antara hukum-hukum fikih. Sedangkan siapa saja yang bertentangan berarti ia menggunakan cara berhujjah yang tidak sesuai dengan kaidah ushul fikih, padahal semua metode pengambilan dalil dan cara penggunaan hujjah telah tercakup dalam kaidah-kaidah ushul fikih.
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang tersebar ke dalam suatu kitab tersendiri adalah imam Abu Yusuf, penganut faham Abu Hanifah, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu al Nadim dalam sebuah catatan kaki, tetapi kitab itu tidak sampai kepada kita.
Sedangkan orang yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul fikih disertai pembahasannya secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian adalah Imam Muhammad bin Idris a Syafi’i, wafat tahun 204 H. Dia telah menulis risalah tentang ushul fikih yang kemudian diriwayatkan oleh muridnya Rabi’ al Muradi. Kitab inilah yang pertama kali disusun berisi tentang ilmu ushul fikih yang sampai kepada kita. Sehingga dikenal oleh para Ulama bahwa peletak dasar ilmu ushul fikih adalah Imam al Syafi’i.
Kemudian berturut-turut para ulama menyusun ilmi ushul fikih ini dengan memperpanjang pembahasannya dan meringkasnya. Para ahli ilmu teologi juga ikut menyusun ilmu ushul fikih dengan menggunakan metodenya. Sedangkan ulama madzhab Hanafi dalam penyusunannya menggunakan metode yang lain.
Keistimewaan ulama teologi dalam menyusun ilmu ushul fikih adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya secara logis dan rasional dengan didukung bukti-bukti yang ada. Mereka tidak mengarahkan perhatian pada penerapan hukum yang telah ditetapkan oleh imam-imam mujtahid dan hubungan kaidah dengan masalah khilafiyah, tetapi apa saja yang rasional dan didukang oleh bukti-bukti itulah yang menjadi sumber hukum syara’; baik sesuai dengan masalah khilafiyah antar madzhab atau tidak. Kebanyakan ulama yang ahli dalam bidang ini adalah kelompok Syafi’ dan Maliki.
Sedangkan kitab ushul fikih yang terkenal dengan menggunakan metode di atas antara lain: al Mustashfa karangan Abu Hamid al Ghazali al Syafi’i (wafat tahun 505 H.), kitab al Ahkam karangan Abu Hasan al Amidi al Syafi’i (wafat tahun 631 H.), kitab al Minhaj karangan al Baidhawi al Syafi’i (wafat tahun 685 H.). adapun kitab yang berisi penjelasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Syarah al Asnawi.
Adapun keistimewaan metode yang ditempuh madzhab Hanafi adalah mereka menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul feqih yang mereka yakini bahwa imam-imam mereka telah mengunakan kaidah dan pembahasan tersebut dalam ijtihadnya. Mereka tidak menetapkan kaidah yang sebangsa jadi perbuatan yang menjadi pokok dari hukum imam-imam mereka. Adapun yang merangsang mereka untuk membuktikan kaidah tersebut adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imam-imam mereka yang berpedoman pada kaidah itu sendiri, bukan hanya sekedar dalil rasional. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab mereka banyak yang menyebut masalah khilafiyah. Suatu ketika mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul feqih terhadap masalah yang telah disepakati dari hal-hal yang bersifat khilafiyah. Jadi, perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul feqih imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Adapun kitab ushul feqih yang terkenal dengan mengunakan metode ini antara lain: kitab ushul feqih karangan Abu Zaid al Dabusi. Sedangkan kitab yang berisi tentang penjelasan dan komentar terbaik adalah kitab Miskatul Anwar.
Sebagian ulama’ juga menyusun ilmu ushul feqih ini dengan mengabungkan antara dua metode di atas. Artinya, mereka membuktikan kaidah-kaidah ushul feqih sekaligus membeberkan dalil-dalilnya, juga menerapkan kaidah-kaidah ushul feqih terhadap masalah feqih khilafiyah sekaligus hubungan kaidah dengan masalah khilafiyah.
Adapun kitab ushul feqih yang terkenal dengan mengunakan metode gabungan ini antara lain: kitab Badi’un Nizham, al Tauthih li shadris Syari’ah, al Tahrir dan Jam’ul Jawami’.
Sedangkan kitab-kitab yang ringkas dan berguna dalam mempelajari ilmu itu antara lain: irsyadhul fuhuul ilaa tahqiqil haqi min’ilmil ushul karangan imam syaukani



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Fiqh secara etimologi berarti paham yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal. Secara definisi, fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amalia yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil tafsili. pengertian feqih secara terminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliyah) maupun amaliah (furu’iah).
Ilmu ushul fiqh mulai tumbuh pada abad ke dua Hijriyah, karena pada abad sebelumnya ilmu ini belum diperlukan. Rosulullah SAW telah memberikan fakta (mengenai suatu hukum) dan memeberikan putusan hukum berdasarkan wahyu Allah dalam Al-Qur’an dan ilham Allah menurut as Sunnah serta menurut ijtihad Rosul yang suci tanpa memerlukan dasar atau kaidah dalam menetapkan hukum dan ijtihadnya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi menjadi lima periode:(1)Periode Rasulullah, (2) Periode Sahabat, (3) Periode Imam-imam Mujtahid, (4) Periode Kemunduran, (5) Periode Kebangunan kembali.












DAFTAR PUSTAKA

A Djazuli.2006. ILMU FIQH Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana
Biek, Muhammad Al Khudari. 2007. Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani
Khollaf, Abd Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Feqih, Kuwaid: Darul Qolam

Penderitaan dan kegelisahan

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial yang mengalami bermacam-macam liku kehidupan. Dimana didalam pemenuhan kebutuhan hidupnya akan selalu tergantung dengan manusia(membutuhkan orang lain).
Dalam usahanya untuk hidup, manusia sering mengalami kegagalan. Seperti kegagalan dalam belajar, berkarya, bergaul ataupun kegagalan dalam bercinta. Dalam menghadapi kegagalan tersebut, tergantung pada manusia itu sendiri. Ada yang telah mempersiapkan segala sesuatunya termasuk kegagalan tersebut, sehingga orang tersebut tidak terlalu kecewa dengan hasil perbuatannya itu, ada yang mengganggap bahwa kegagalan adalah hal yang wajar dan suatu pengalaman, ada juga yang mengganggap bahwa kegagalan itu merupakan pengalaman paling pahit dalam hidupnya, ia selalu memikirkan kegagalan tersebut dan kecewa, menderita, dan tidak puas dengan hasil yang telah ia perbuat.
Dalam kehidupan ini manusia juga mempunyai harapan-harapan dan tidak ada seorangpun yang dapat menghalanginya.Untuk mencapai harapan-harapan itu manusia berusaha dengan sekuat tenaga, setelah berusaha maka orang-orang itu dengan gelisah menunggu dan menanti bagaimana hasil usaha mereka, sesuaikah dengan apa yang mereka korbankan, berhasilkah atau mereka harus kecewa karena gagal. Jadi manusia sering mengalami penderitaan dan kegelisahan di dalam kehidupannya.
Penderitaan, rasa sakit, dan tersiksa adalah bagian hidup manusia. Tiap manusia akan pernah dan akan mengalaminya, meskipun kadar penderitaannya, rasa sakit dan rasa tersiksa itu tidak sama.
Dalam ajaran syariat agama, kita mengenal surga dan neraka. Neraka adalah identik dengan dosa. Dosa adalah perbuatan yang tidak dikehendaki atau dilarang Tuhan. Mereka yang berbuat dosa akan mendapatkan siksaan Tuhan. Misalnya firman Allah SWT:
Tidakkah Nabi dan orang mu’min memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang musyrik ini termasuk famili kerabat yang dekat, setelah nyata bahwa merekan ahli neraka
(QS At Taubah:113)
I.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pembahasan makalah di fokuskan pada masalah-masalah berikut:
1. apa maksud dari penderitaan dan kegelisahan?
2. mengapa manusia mengalami penderitaan dan kegelisahan?
3. bagaimana cara mengatasi penderitaan dan kegelisahan?

I.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan disusunnya makalah ini adalah:
1. memehami makna penderitaan dan kegelisahan.
2. mengetahui sebab-sebab penderitaan dan kegelisahan.
3. mengetahui cara-cara mengatasi penderitaan dan kegelisahan.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MANUSIA DAN PENDERITAAN
A. Pengertian Penderitaan
Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sangsekerta dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan itu dapat berbentuk lahir atau batin, keduanya. Termasuk penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan, kelaparan, kekenyangan, kepanasan dan lain-lain.(Hidayati.2007)
Al-quran maupun kitab suci agama lain banyak menguraikan penderitaan manusia sebagai peringatan bagi manusia. Dalam riwayat Nabi Muhammad SAW pun, diceritakan bahwa beliau dilahirkan sebagai anak yatim dan kemudian yatim piatu, yang dibesarkan kakeknya kemudian pamannya. Beliau menggembala kambing, bekerja pada orang dan sebagainya. Bahkan sebagian besar hidupnya mengalami penderitan yang luar biasa.
Dalam riwayat hidup Budha Gautama, yang dipahatkan dalam bentuk relief pada dinding candi Borobudur kita juga melihat adanya penderitaan. Meskipun berupa relief, hati kita pilu dan haru pada saat melihatnya. Seorang pangeran (sidharta) yang meniggalkan istana yang bergemelapan, masuk hutan menjadi bhiksu dan makan dengan cara mengemis. Menggembara di hutan dengan penuh penderitan dan tantangan.
Kalau kita baca buku riwayat hidup orang-orang besar, semua dimulai dengan penderitan. Hamka, mengalami penderitaan yang hebat pada masa kecilnya, hingga ia hanya mengecap sekolah kelas 2 saja. Namun ia mampu menjadi orang terkenal, orang besar pada zamannya, berkat perjuangan melawan penderitaan.
Pada waktu kita membaca riwayat hidup para tokoh itu, kita dihadapkan pada jiwa besar harga diri, berani karena benar, rasa tanggung jawab, semangat membaca dan sebagainya. Semua itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Di sana kita tidak temui jiwa muafik, plin plan, cengeng, dengki iri dan sebagainnya.

B. Sumber Penderitaan
1. Hakikat manusia
manusia pada hakikatnya adalah mahluk hidup yang memiliki kepribadian yang tersusun dari perpaduan dan saling hubungan dan pengaruh-mempengaruhi antara unsur-unsur jasmani dan rohani, dan karena itu pendritaan dapat pula terjadi pada tingkat jasmani maupun rohani.
Di dalam jasmani manusia terdapat 2 unsur yang selalu berhubungan, yaitu otak dan panca indra. Di dalam otak dan berbagai pusat kemampuan manusia. Pancaindra merupakan alat jedala atau pintu tubuh manusia sehingga manusia mampu menerima atau menangkap segala sesuatu yang berada dilingkunganya.
Rohani yang sering disebut dengan istialah lain seperti jiwa , badan halus, dan mind, merupakan unsur yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra manusia. Dalam kehidupan sehari-hari rohani menjiwai, mendasari dan memimpin unsur-unsur pribadi manusia. Rohani memiliki alat dan kemampuan yaitu: nafsu , perasaan, pikiran, kemauan
Dalam hubungannya dengan penderitaan ini akan dibahas sedikit mendasar tentang nafsu
a. Nafsu.
Nafsu adalah suatu dorongan yang ditimbulkan oleh segala macam kebutuhan, termasuk pula instink, sehingga menimbulkan keinginan. Batas antara nafsu dan keinginan tidak terlalu jelas. Kasmiran (1985), menjelaskan bahwa nafsu menurut kerohanian indonesia mencakup lima macam, ialah empat macam seperti yang ada dalam tasawuf islam dan yang satu lagi yang merupakan paduan dari keempat macam yang lebih dahulu, yang secara keseluruhan disebut “sedulur papat limapencar” . lima macam nafsu itu adalah : (1) mutmainnah (2) amarah (3) supiah (4) lawwamah dan (5) kombinasi keempat nafsu.
b. Perasaan
perasaan merupakan gejala psikis. Perasaan menyangkut susunan batiniah manusia. Kalau merasa cinta dan benci ini tinggal di dalam batin manusia. Perasaan timbul dalam batin akibat kontak manusia dengan lingkungannya. Adanya rangsangan dari luar menimbulkan reaksi, dari kaitan ini adalah reaksi emosional ini dapat sesuai dengan kehendak pribadi dan akan menimbulkan rasa puas, senang dan sikap positif, tetapi dapat pula terjadi reaksi emosional yamg tidak sesuai dengan kehendak pribadi manusia, sehingga menimbulakan aibat rasa tidak senang, marah, dan sikap negatif.
c. Pikiran
Pikiran disebut juga akal, budi. Dimilikinya pikiran ini memungkinkan manusia mempertimbangkan, membedakan, dan mengambil keputusan berdasarkan alasan-alasan sendiri. Dimilikinya budi atau akal ini pula yang memungkinkan manusia tahu atau mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Tahu dalam hal ini berarti menghubungkan secara mental sesuatu dengan sesuatu. Jika hubungan ini sesuai maka pengetahuan itu benar, jika tidak sesuai maka pengetahuan itu salah dan orang yang berbuat dikatakan telah berbuat sesuatu yang keliru.
d. Kemauan
Kemauan disebut juga kehendak. Dimilikinnya kemauan atau kehendak dalam diri manusia memungkinkan manusia memilih. Untuk memilih manusia harus apa yang dipilih. Oleh karena itum kemauan atau kehendak ini dapat dikatakan sebagai pelaksana mengenai apa-apa yang telah dipertimbangkan oleh akal budi dan perasaan.
2. Dorongan memenuhi kebutuhan sebagai sumber penderitaan
untuk mempertahankan keberadaan serta kehidupannya, manusia di tuntut untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya. Di dalam memenuhi kebutuhan ini nafsu memegang peranan yang penting. Nafsu atau dorongan ini cendrung menuntut dipenuhinya kepuasan akan keinginan. Dalam usaha memenuhi nafsu ini mengunakan daya kehendak, dan akal budi mempertimbangkan jalan dan materi yang merangsang manusia untuk dapat direalisasikan dalam bentuk perbuatan.
Dalam memenuhi kebutuhan ini, mungkin saja apa yang menjadi tujuan bisa terpenuhi, tetapi juga mungkin tujuan tidak dapat dipenuhinya. Bila tujuan bisa dipenuhi, maka rasa kepuasan, kegembiraan dan kesenangan dapat doperoleh. Tetapi bila tujuan tidak dapat dipenuhi, maka akan terjadi penyesalan, kesedihan dan penderitaan.

C. Penderitaan Sebuah Fenomena Universal
Penderitaan, memang tidak hanya terjadi lantaran perang ataupun tingkah manusia agresif lainnya. Sebenarnya banyak hal yang bisa menjadi penyebab penderitaan manusia, seperti: bencana alam, musibah atau kecelakaan, kemiskinan dan lain sebagainya. Selain itu, penderitaan boleh juga dibilang sebagai fenomen yang universal. Penderitaan tidak mengenal ruang dan waktu. Ini berarti, bahwa penderitaan tidak hanya dialami oleh manusia di zaman ini, dimana kebutuhan dan tuntutan hidup semakin meningkat yang pada instansi berikut bisa menimbulkan penderitaan bagi yang tidak mampu memenuhinya. Akan tetapi penderitaan telah dikenal sejak kelahiran manusia pertama.
Sebagai fenomen universal, penderitaan tidak mengenal perbedaan manusia. Artinya, penderitaan bisa pula dialami oleh manusia-manusia yang dianggap suci, bahkan rasul atau nabi.
D. Manusia dan Penderitaan
Penderitaan adalah sebuah kata yang sangat dijauhi dan paling tidak disenangi oleh siapapun. Berbicara tentang penderitaan ternyata penderitaan tersebut berasal dari dalam dan dari luar diri manusia. Biasanya orang menyebut dengan faktor internal dan faktor eksternal.
Dalam diri manusia itu ada cipta, rasa, dan karsa. Karsa adalah sumber yang menjadi penggerak segala aktifitas manusia. Cipta adalah realisasi dari adanya rasa dan karsa. Baik rasa maupun karsa selalu ingin dipuaskan. Karena selalu ingin dilayani. Sedangkan rasa adalah selalu ingin dipenuhi tuntutannya. Baru dalam kedaunya menemukan yang dicarinya atau diharapkan manusia akan merasa senang, merasa bahagia. Dan apabila karsa dan rasa tidak terpenuhi manusia akan merasa menderita. Jelaslah bahwa karsa da rasa merupakan sumber penderitaan manusia
Sebab-sebab yang menjadikan manusia itu menderita, antara lain: rasa kurang pandai, kurang kaya, kurang beruntung, kurang tinggi pangkatnya, dan lain sebagainya. Apabila didalam hatinya masih ada rasa kurang, niscaya orang tersebut tidak pernah merasa bahagia. Jadi orang itu masih merasa menderita. Penyakit ini dapat diobati dengan cara menumbuhkan kesadaran terhadap adanya keadaan yang berlawanan dengan yang dijadikan perbandingan. Jadi bila orang itu merasa bahwa ada orang yang lebih kaya, maka orang itu harus yakin bahwa pasti ada orang yang lebih miskin daripada dirinya.
Penderitaan seseorang menurut pandangan agama islam disebabkan oleh dua kenungan. Pertaam, karena ujian Allah, kedua, karena bala’ atau siksa Allah. Bila kita mengalami suatu penderitaan maka sikap kita yang paling jitu adalah “mawas diri”. Dengan jalan itu dapat memperoleh.

2.2 MANUSIA DAN KEGELISAHAN
Kegelisahan berasal dari kata gelisah. Gelisah artinya rasa yang tidak tenteram di hati atau merasa selalu khawatir, tidak dapat tenang, cemas dan sebagainya. Kegelisahan artinya perasaan gelisah, khawatir, cemas atau takut. Manusia yang gelisah selalu dihantui rasa khawatir dan takut.
Manusia suatu saat dalam hidupnya akan mengalami kegelisahan. Kegelisahan ini, apabila cukup lama hinggap pada manusia, akan menyebabkan suatu gangguan penyakit. Kegelisahan (anxiety) yang cukup lama akan menghilangkan kemampuan untuk merasa bahagia.
Tragedi dunia modern tidak sedikit dapat menyebabkan kegelisahan. Hal ini mungkin akibat kebutuhan hidup yang meningkat, rasa individualistis, dan egoisme, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan seterusnya. Kegelisahan dalam konteks budaya dapat dikatakan sebagai akibat adanya instrik manusia untuk berbudaya, yaitu sebagai upaya mencari “kesenpurnaan”. Atau dari segi batin manusia, gelisah sebagai akibat noda dosa pada hati manusia. Dan tidak jarang akibat kegelisahan seseorang sekaligus membuat orang lain menjadi korbannya.
Penyebab kegelisahan dapat pula dikatakan akibat mempunyai kemampuan untuk membaga dunia dan mengetahui misteri kehidupan. Kehidupan ini yang menyebabkan mereka menjadi gelisah. Mereka sendiri sering tidak tahu mengapa mereka gelisah, mereka hidupnya kosong dan tidak mempunyai arti. Kegelisahan yang demikian sifatnya abstrak sehingga sehingga disebut kegelisahan murni, yaitu merasa gelisah tanpa mengetahui apa kegelisahannya, seolah-olah tanpa sebab.
Ini berbeda dengan kegelisahan “terapan” yang terjadi dalam peristiwa kehidupan sehari-hari, seperti kegelisahan karena anaknya sampai malam belum pulang, orang tua yang sakit keras, melakukan perbuatan dosa yang ditentang nuraninya, dan sebagainya.
Alasan mendasar mengapa manusia gelisah ialah karena manusia memiliki hati dan perasaan. Bentuk kegelisahannya berupa keterasingan, kesepian, dan ketidakpastian. Perasaan-perasan ini silih bergantidengan kebahagiaan, kegembiraan dalam kehidupan manusia. Perasaan seseorang yang sedang gelisah adalah hatinya tidak tenteram, merasa khawatir, cemas, takut, jijik dan sebagainya.
Menurut Sigmund Freud perasaan cemas ada tiga macam, yaitu:
1. Kecemasan objektif
Kegelisahan ini mirip dengan kegelisahan terapan, seperti anaknya yang belum pulang, orang tua yang sakit keras, dan sebagainya.
2. Kecemasan neurotik (saraf)
Hal ini timbul akibat pengamatan tentang bahaya dari nurani. Contohnya dalam penyesuaian diri dengan lingkungan, rasa takut .
Menuruy S. Freud kecemasan dibagi dalam tiga macam:
a. Kecemasan yang timbul karena penyesuaian diri dengan lingkungan. Kecemasan ini timbul karena orang itu takut dengan bayangannya sendiri atau takut dengan egonya sendiri sehingga menekan dan menguasai egonya.
b. Rasa takut irasional atau fobia. Rasa takut ini mudah menular sehingga kadang-kadang tanpa alasan dan hanya karena pandangan saja, yang kemudian dilanjutkan dengan khayalan yang kuatdapat menimbulkan rasa takut.
c. Rasa takut ialah rasa gugup, gagap, dan sebagainya.
3. Kecemasan Moral
Tiap pribadi memiliki bermacam-macam emosi antara lain: iri, benci, dendam, dengki, marah, takut, gelisah, cinta, rasa kurang (inferiot).
Rasa ini biasanya dihubungkan dengan keadaan orang lain atau keadaan lainyang menjadi sebab perbandingan yang diinginkan. Iri dan sebagainya itu mungkin tidak beralasan, artinya hanya memandang dirinya sendiri tanpa memperhatikan keadaan orang lain.

Sebab-sebab orang gelisah adalah pada hakikatnya orang takut kehilangan hak-haknya. Hal itu akibat dari suatu ancaman, baik ancaman dari luar maupun dari dalam.
Contoh: apabila ada suatu tanda bahaya (banjir, gunung meletus atau perampokan), orang tentu akan gelisah. Hal ini disebabkan adanya bahaya yang akan mengancam hilangnya hak beberapa orang sekaligus, misalnya : hak hidup, hak milik, hak memperoleh perlindungan, dan mungkin hak nama baik.

II.3 CARA MENGATASI PENDERITAAN DAN KEGELISAHAN
Dalam mengatasi penderitaan dan kegelisahan, pertama-tama harus dari diri kita sendiri, yaitu bersikap tenang. Dengan sikap tenang kita dapat berpikir jernih dan segala kesulitan dapat kita atasi.dengan ketenangan ini, orang yang mengancam kita mungkin akan mengurungkan niatnya.
Contoh.
1. Bila ada orang mengancam dengan senjata tajam atau pistol sekalipun, dan kita tenang menghadapinya mungkin orang itu akan gentar dan akhirnya mengurungkan niatnya.
2. Dokter yang menghadapi anak atau istrinya yang sakit, justru tidak bisa merasa tenang, karena ada ancaman terhadap haknya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa bila menghadapi keluarganya yang sakit, karena dia merasa khawatir. Dalam hal ini ia harus bersikap seperti menghadapi pasien yang bukan keluarganya.

Untuk mengatasi penderitaan dan kegelisahan, yang paling ampuh adalah memasrahkan diri kepada Tuhan. Kita pasrahkan nasib kita sepenuhnya kepada-Nya. Kita harus percaya bahwa Tuhanlah yang Maha kuasa, pengasih, penyayang dan Maha pengampun. Serta menambahkan iman kita dengan meningkatkan ibadah kita seperti shadaqah, agar hati kita menjadi tenang.
BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN
1. Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sangsekerta dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan itu dapat berbentuk lahir atau batin, keduanya. Termasuk penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan, kelaparan, kekenyangan, kepanasan dan lain-lain.
Penderitaan seseorang menurut pandangan agama islam disebabkan oleh dua kenungan. Pertaam, karena ujian Allah, kedua, karena bala’ atau siksa Allah. Bila kita mengalami suatu penderitaan maka sikap kita yang paling jitu adalah “mawas diri”. Dengan jalan itu dapat memperoleh.

2. Kegelisahan berasal dari kata gelisah. Gelisah artinya rasa yang tidak tenteram di hati atau merasa selalu khawatir, tidak dapat tenang, cemas dan sebagainya. Kegelisahan artinya perasaan gelisah, khawatir, cemas atau takut. Manusia yang gelisah selalu dihantui rasa khawatir dan takut.
Alasan mendasar mengapa manusia gelisah ialah karena manusia memiliki hati dan perasaan. Bentuk kegelisahannya berupa keterasingan, kesepian, dan ketidakpastian. Perasaan-perasan ini silih bergantidengan kebahagiaan, kegembiraan dalam kehidupan manusia. Perasaan seseorang yang sedang gelisah adalah hatinya tidak tenteram, merasa khawatir, cemas, takut, jijik dan sebagainya.

3. Untuk mengatasi penderitaan dan kegelisahan, yang paling ampuh adalah memasrahkan diri kepada Tuhan. Kita pasrahkan nasib kita sepenuhnya kepada-Nya. Kita harus percaya bahwa Tuhanlah yang Maha kuasa, pengasih, penyayang dan Maha pengampun. Serta menambahkan iman kita dengan meningkatkan ibadah kita seperti shadaqah, agar hati kita menjadi tenang.



DAFTAR P USTAKA

Mawardi, dan Hidayati, Nur.2007. IAD-ISD-IBD Untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa, Ahmad. 1999.IBD Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Semua Fakultas dan Jurusan Komponen MKU. Bandung: Pustaka Setia.
Rohiman, Notowidagdo.2000. IBD Berdasarkan Al-Quran dan hadist. Jakarta: Rajawali Press.
Soelaeman, Munandar.2007.Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Winarno. Herimanto.2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Filsafat Keindahan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia pada umumnya senang pada sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam maupun terhadap keindahan seni. Keindahan alam adalah keharmonisan yang menakjubkan dari hokum-hukum alam, yang dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah keindahan buatan atau hasil ciptaan manusia, yaitu buatan seseorang (seniman) yang mempunyai bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah.
Rata-rata manusia apabila melihat sesuatu yang indah pasti akan terpesona. Memang benar, tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap suatu keindahan. Akan tetapi pada umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan.
Keindahan tentang seni telah lama menarik perhatian para ahli atau filosof, sejak zaman plato sampai zaman modern sekarang ini. Teori tentang keindahan seni ini muncul karena mereka menganggap bahwa seni adalah pengetahuan perspektif perasaan yang khusus. Keindahan seni ini juga telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban manusia, oleh karena itu dalam makalah ini akan kami bahas tentang pengertian keindahan, sejarah perkembangan serta hubungan antara manusia dengan keindahan.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian keindahan?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Filsafat Keindahan?
3. Bagaimana hubungan manusia dan keindahan?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian keindahan.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Filsafat Keindahan.
3. Untuk mengetahui hubungan manusia dan keindahan.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Keindahan
Keindahan merupakan suatu rasa senang seorang yang sedang melihat suatu yang indah. Ada banyak batasan tentang keindahan yang sampai sekarang belum ada kata sepakat tentang definisi keindahan yang obyektif. Mengenai batasan keindahan pada umumnya menurut HabibMustopo dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Definisi-definisi yang bertumpu pada obyek (keindahan yang obyektif)
b. Definisi-definisi yang bertumpu pada subyek (keindahan yang subyektif)
Atas dasar kedua pokok penilaian itu, keindahan dapat ditinjau dari makna yang obyektif dan juga dari segi subyektif. Yang dimaksud keindahan obyektif adalah keindahan yang memang pada obyeknya, yang diharuskan menerima sebagaimana mestinya. Sedangkan yang disebut keindahan subyektif adalah keindahan yang biasanya ditinjau dari segi subyek yang diharuskan menghayatinya.
Dalam hal ini keindahan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan rasa senang pada diri si penghayat tanpa diiringi keinginan-keinginan terhadap segala sesuatu yang praktis untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi.
Jadi keindahan itu adalah kesatuan hubungan-hubungan formal daripada pengamatan yang dapat menimbulkan rasa senang. Atau keindahan itu merangsang timbulnya rasa senang tanpa pamrih pada subyek yang melihatnya, dan bertumpu kepada cirri-ciri yang terdapat pada obyek yang sesuai dengan rasa senang.]
Gambaran sederhana tentang proses penerimaan oleh obyek, seperti pada gambar di bawah ini:


Menurut gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa keindahan itu melalui 4 proses, yakni: pertama, adanya obyek yang dapat dinikmati oleh subyek. Kedua, panca indera merupakan penangkapan gambaran obyek, ini tidak hanya dilakukan oleh mata akan tetapi bisa dilakukan semua indera. Ketiga, kemudian gambaran tersebut diproses dalam pikiran manusia. Keempat, jadilah rasa suka dan munculah keindahan.
Banyak batasan tentang keindahan yang telah diutarakan oleh para ahli, antara lain:
1. Menurut Leo Tolstoy (Rusia)
Dalam bahasa Rusia terdapat istilah yang serupa dengan keindahan yaitu “krasota”, artinya suatu yang mendatangkan rasa yang menyenangkan bagi yang melihat dengan mata. Bangsa Rusia tidak memiliki pengertian keindahan untuk music. Bagi bangsa Rusia yang indah hanya yang dapat dilihat mata.
2. Menurut Alexander Baumgarten (Jerman)
Keindahan itu dipandang sebagai keseluruhan yang merupakan susunan yang teratur daripada bagian-bagian, yang bagian-bagian itu erat hubungannya satu dengan yang lain, juga dengan keseluruhan.
3. Menurut Winchelman
Keindahan itu dapat terlepas sama sekali dari pada kebaikan.
4. Menurut Humo (Inggris)
Keindahan adalah suatu yang dapat mendatangkan rasa senang.
5. Menurut Hemsterhuis (Belanda)
Yang indah adalah yang paling banyak mendatangkan rasa senang dan itu adalah yang dalam waktu sesingkat-singkatnya paling banyak memberikan pengamatan-pengamatan yang menyenangkan itu.
6. Menurut Emnanuel Kant
Meninjau keindahan dari 2 segi, pertama dari segi arti yang subyektif dan kedua dari segi arti yang obyektif.
a. Subyektif
Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan kegunaan praktis, tetapi mendatangkan rasa senang pada si penghayat.
b. Obyektif
Keserasian dari suatu obyek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh obyek ini tidak ditinjau dari segi gunanya.
7. Menurut Al-Ghazali
Keindahan suatu benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan, yang dapat dikenali kembali dan sesuai dengan sifat benda itu. Disamping lima rasa(panca indera) untuk mengungkapkan keindahan di atas, Al Ghozali juga menambahkan rasa ke enam, yang disebutnya dengan jiwa(ruh, yang disebut juga sebagai spirit, jantung, pemikiran, cahaya), yang dapat merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam yaitu nilai-nilai spiritual, moral dan agama.
2.2 Sejarah Perkembangan Filsafat Keindahan
Untuk mempermudah pembagian sejarah perkembangan filsafat keindahan ini, maka akan dibagi menjadi 3 periode, yakni zaman yunani kuno, zaman tiga agama monoethis, zaman modern. Adapun keterangannya sebagai berikut:
1. Zaman Yunani Kuno
Plato adalah filsuf pertama di dunia Barat yang dalam seluruh karyanya mengemukakan pandangan yang meliputi hampir semua pokok estetika, yang dibahas sepanjang sejarah filsafat sampai dewasa ini. Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua, yang satu mengingatkan kita kepada seluruh filsafatnya tentang dunia ide, sedangkan yang lain nampaknya lebih membatasi diri pada dunia yang nyata ini.
Pandangan yang pertama, yang indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia yang tampak pada saya. Selanjutnya saya melihat beberapa seseorang seperti itu, pengalaman keindahan akan meningkat. Ide merupakan sumber segala keindahan.
Pandangan kedua, bahwa yang indah dan sumber segala keindaha adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana. Yang dimaksud dengan sederhana ialah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi.
Sebagai murid Plato, aristoteles mengemukakan beberapa pandangan yang mirip dengan pandangan gurunya, tetapi dari sudut pandang yang sangat berbeda. Sudut pandang yang berbeda ini timbul karena Aristoteles menolak ide-ide Plato sebagai sumber pengetahuan dan adanya pengetahuan. Dia berpendapat bahwa keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran yakni material. Pandangan ini menurut Aristoteles berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia.
2. zaman tiga agama monotheis
Tiga agama monotheis, Yahudi,Kristiani, dan Islam, yang ketiga-tiganya berasal dari wilayah yang sekarang diberi nama Timur Tengah , sejak awal menekankan keluhuran Allah yang Maha Agung dan tak terjangkau. Sebagai implikasi dari penekanan ini, ketiganya dengan tegas menolak penyembahan berhala dalam bentuk apapun.
Kendati kesamaan itu cukup mencolok, ada perbedaan yang juga tidak sedikit, yang dapat diterangkan dalam konteks peristiwa historis. Ciri-ciri kesamaan maupun perbedaan juga menampakkan diri dalam sikap penghargaan terhadap seni dan karya seni. Dan secara lebih umum tampak dalam sikap terhadap keindahan.
Dalam tradisi bangsa yahudi, baik Abraham maupun Musa dan par5a nabi sesudahnya dipandang sebagai utusan Tuhan yang menjunjung tinggi iman. Bangsa Yahudi menghancurkan segala berhala. Dalam kerangka itu semua patung dan gambar manusia maupun hewan dilarang demi mempertahankan kemurnian iman. Salah satu akibat kenyataan di atas ialah bahwa seni rupa tidak banyak berkembang walaupun ada perhiasan tempat-tempat suci, kaligrafi, keindahan pakaian, selain itu, tentu ada mazmur, music, nyanyian dan tarian.
Di sisi lain, umat kristiani mengimplikasikan kegiatan ibadahnya tidah hanya berdoa akan tetapi melalui perantara gambar dan patung, sehingga pada masa ini banyak pembuat patung, lukisan tentang kehidupan mereka. Serta banyak hiasan dinding yang ada pada gereja dan masih banyak seni lainnya.
Sedangkan Islam juga melarang adanya patung dan gambar, walaupun demikian, pada masa ini kegiatan kesenian mengalami kemajuan yang sangat pesat. Seperti dalam bidang arsitektur masjid, istana serta benteng pertahanan. Selain itu, seni music dan tari juga berkembang pesat.
3. zaman modern
Pada zaman modern ini, filsafat dari aristoteles dan tokoh yunani lain mulai digali kembali. Yang kemudian dikembangkan menjadi suatu peradaban dengan keindahan. Mulai bermunculan para ahli di bidang kesenian, mulai seni musik sampai seni arsitektur. Pada zaman ini para seniman dan masyarakat mulai kritis terhadap suatu seni. Mereka dapat membedakan secara terperinci seni itu baik atau tidak.
2.3 Manusia dan Keindahan
Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa manusia akan merasakan keindahan jika menyukai atau menyenangi sesuatu. Akan tetapi, hal ini bisa berdampak baik dan buruk karena tidak bisa ditebak apa yang manusia sukai. Manusia pada hakikatnya menyukai kebaikan akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa manusia juga menyukai keburukan yang termasuk perilaku menyimpang.
Dari uraian diatas maka keindahan dapat dibagi menjadi 2, yakni:
1. keindahan yang berdasarkan pada kebaikan,
keindahan yang berdasarkan kebaikan ini akan menghasilkan sifat yang lebih lanjut yaitu cinta kasih, karena rasa suka yang terus menerus akan menjadi cinta terhadap sesuatu tersebut. Cinta kasih merupakan perasaan suka seseorang terhadap sesuatu, sehingga ia rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan sesuatu tersebut. Dilihat dari obyeknya cinta kasih dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Cinta terhadap Allah
Merupakan cinta manusia terhadap sang khaliq (pencipta), dengan adanya rasa cinta ini manusia akan lebih taat dan beriman kepada Allah. Sehingga mereka akan cenderung beribadah dan meninggalkan sesuatu yang berbau duniawi.
b. Cinta terhadap Manusia
Merupakan suatu cinta antara manusia satu dengan yang lainnya. Cinta ini bisa berdasarkan karena adanya ikatan keluarga seperti: cinta orang tua terhadap anak, bisa juga berdasarkan kasih saying terhadap pasangan karena sudah menjadi kodrat manusia bahwa mereka diciptakan berpasang-pasangan. Cinta disini timbul karena adanya rasa senang dan kebiasaan sang pelaku, seperti contoh: cintanya suami dan istri.
c. Cinta terhadap alam
Cinta terhadap alam ini juga bisa dikatakan cinta terhadap dunia. Cinta ini timbul karena rasa senang seseorang ketika melihat suatu benda. Contohnya kecintaan manusia terhadap harta benda (uang, emas, perhiasan dll), cinta terhadap dunia ini dapat menyebabkan manusia akan melupakan Tuhan mereka karena pikiran mereka telah terpengaruhi akan kehidupan dunia.
Akan tetapi disisi lain cinta terhadap ala mini juga dapat mempertebal iman seseorang, seperti: saat kita melihat kekuasaan Allah di alam ini (keindahan laut, pegunungan dll) maka orang tersebut akan senantiasa mengingat Allah selaku pencipta semua itu.
2. keindahan yang berdasarkan pada keburukan
Keburukan atau kejahatan merupakan sesuatu yang akan merugikan untuk orang lain, walaupun hal ini sangat jarang terjadi karena pada hakekatnya menyukai akan keindahan dan kebaikan. Apabila hal ini terjadi maka akan menciptakan penderitaan dan kegelisahan.
Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sangsekerta dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan itu dapat berbentuk lahir atau batin, Kita ambil contoh, dictator jerman Adolf Hitler yang sangat menyukai peperangan dan membantai orang-orang yahudi, dia menganggap bahwa yang dilakukan itu benar karena sesuai dengan kesenangannya.
Sumber-sumber penderitaan antara lain: Hakekat Manusia, manusia pada hakikatnya adalah mahluk hidup yang memiliki kepribadian yang tersusun dari perpaduan dan saling hubungan dan pengaruh-mempengaruhi antara unsur-unsur jasmani dan rohani, dan karena itu pendritaan dapat pula terjadi pada tingkat jasmani maupun rohani. Di dalam jasmani manusia terdapat 2 unsur yang selalu berhubungan, yaitu otak dan panca indra.
Rohani yang sering disebut dengan istialah lain seperti jiwa , badan halus, merupakan unsur yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra manusia. Rohani memiliki alat dan kemampuan yaitu: nafsu , perasaan, pikiran, kemauan.


















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. keindahan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan rasa senang pada diri si penghayat tanpa diiringi keinginan-keinginan terhadap segala sesuatu yang praktis untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi.
2. sejarah perkembangan filsafat keindahan ini, maka akan dibagi menjadi 3 periode, yakni zaman yunani kuno, zaman tiga agama monoethis, zaman modern.
3. bahwa manusia akan merasakan keindahan jika menyukai atau menyenangi sesuatu. Akan tetapi, hal ini bisa berdampak baik dan buruk karena tidak bisa ditebak apa yang manusia sukai. Manusia pada hakikatnya menyukai kebaikan akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa manusia juga menyukai keburukan yang termasuk perilaku menyimpang.
















DAFTAR PUSTAKA

Mustopo, Habib. 1983. Manusia dan Budaya Kumpulan Essay Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Sutrisno, Mudji Dkk. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.